(Marwah Syaiqila–Sekarang)
•••
Rega Damasatya itu tipe laki-laki yang love language-nya physical touche. Enggak heran kalau dia suka tiba-tiba gandeng tangan.
Rega Damasatya itu act of service. Gerak anggota tubuhnya udah kayak disetel otomatis.
Rega Damasatya itu sabar dan dewasa. Bukan cuma soal umur, tapi juga soul.
Dan, Rega Damasatya itu suamiku. Orang yang sekarang sibuk potongin kuku.
"Mas?"
"Hem."
"Hari ini dokter Yuda dapat gelar Psy.D. ya?"
Dia mengangguk. Fokusnya enggak beralih dari jempol kakiku. Aku sendiri bersandar punggung di bagian atas brankar yang dinaikan, meluruskan kaki---salah satunya menopang di pangkuan Mas Rega.
"Kamu punya temen yang sekadar temen ngopi enggak, Mas?" tanyaku. Kalau diingat-ingat, kayaknya memang enggak pernah suamiku ini izin keluar buat nongkrong santai. Sesibuk apa pun dia dari Senin sampai Jum'at, Sabtu Minggu-nya ya tetap di rumah. Bantuin aku masak dan segala macam.
"Punya."
Alisku terangkat. Enggak yakin sama jawabannya. "Siapa?"
Mulut Mas Rega terbuka. Tapi aku lebih dulu menyela. "Jangan bilang kamu mau nyebut Kenzie?" tebakku.
Dia tersenyum tipis. Dan ... Yah, tentu saja. Andai di masa depan mereka saling menjodohkan anak, barangkali kita bakal beneran jadi satu keluarga.
"Kenzie kok temen ngopi, Mas," kataku, enggak habis pikir. "Wong setiap kali datang atau telpon aja dia ngajakinnya diskusi. Mana topiknya berat lagi. Filsafat."
"Daripada ghibah," ejeknya, bergurau.
Aku mencebik, pura-pura tersindir. "Terang banget ye, Pak, nyindirnya."
Senyumnya melebar. Gigi bagian atasnya mengintip keluar. Rapi dan putih alami. Suka minum kopi enggak ngefek karena doi rajin merawat diri.
Kadang aku suka heran juga si sama dia. Bisa banget lho konsisten jaga penampilan. Sejak menikah, hampir enggak pernah tuh aku nemuin momen "jeleknya". Bahkan tidur aja nih ya, dia keliatan gitu-gitu doang. Enggak ada acara mangap atau ileran. Mendengkurnya pun halus, bukan kayak suara kodok keselek bakiak. Terus soal kebersihan badan ... Beh! top banget. Ngalahin aku yang perempuan---padahal biasanya, kebanyakan laki-laki kalau udah nikah suka jadi jor joran. Yang awalnya six pack berubah jadi buncit. Yang awalnya demen pakai pomade, setelah punya istri, sisiran pun kadang enggak. Alasan karena nyaman jadi diri sendiri.
Dih. Sejak kapan pula jadi diri sendiri itu berarti enggak ngurus diri?
Lagian nih ya, asal cowok-cowok pada tahu, meski kalian yang memilih tampil berantakan, kita yang suka dibilang enggak pintar ngurus suami sama orang-orang.
Tapi berkat Mas Rega, aku jadi sadar dan yakin kalau pernikahan yang beneran dilandasi agama sebagai pedoman memang enggak pernah menuntut perempuan macam-macam. Perkara sesimpel penampilan tadi.
Selama ini kita dengernya cuma perempuan yang diminta wangi dan cantik di depan suami, kan? Nyatanya laki-laki pun demikian. Dalam buku Muhammad Sang Teladan, banyak banget riwayat singkat yang menceritakan kalau Rasulullah selalu berusaha menunjukan penampilan terbaiknya sebelum menemui istri-istrinya.
"Mas," panggilku, kemudian.
Dia mengangkat wajah. Kebetulan udah selesai. "Iya?"
Dalam kepala, pertanyaan, "Kamu kenapa semalam nangis?" Terucap ringan. Tapi terasa nyangkut di tenggorokan. Tahu kalau jawabannya mungkin kayak yang aku pikirkan. Juga, terkesan enggak sopan. Maksudnya, dia lagi ngadu sama Rabb-nya. Apa hakku mencampuri? Jadi, aku pun memilih mencari hal lain buat ditanyain. "Mas udah punya nama fix buat si kembar belum?"
"Sudah."
"Apa?"
"Yang perempuan Daneen Syaifa Damasatya. Yang laki-laki Nayaka Ahmad Damasatya," jawabnya, tersenyum samar. Kebahagiaan terpancar jelas di matanya.
Oh, ya Allah. Hatiku berdenyut ngilu seketika. Enggak kebayang kalau akhirnya dia harus terpaksa membuat pilihan .... Mataku memanas. Enggak, ya Allah. Jangan uji kami dengan ujian yang enggak sanggup kami lalui.
"Tapi kalau misal kamu punya nama sendiri buat mereka, enggak apa-apa. Mas ngikut."
Aku buru-buru menyeka pojok mata sebelum dia sadar. Lalu menggeleng. "Enggak, ah. Masalah nyari nama, aku payah. Tuh, dua anabul aja pakai nama makanan saking enggak ada idenya. Btw, itu arti namanya apa?"
"Daneen artinya putri raja. Syaifa itu bentuk lain dari Syifa yang artinya obat. Daneen Syaifa adalah putri yang bisa menjadi obat bagi banyak orang. Sedangkan, Nayaka Ahmad itu artinya pemimpin yang terpuji."
"Wiiiih! Keren amat." Komentarku, kagum. "Mas dapat dari mana? Kok bisa nemuin nama yang kesannya modern tapi tetep ada sentuhan islamnya gini."
Lagi, Mas Rega tersenyum. Jenis senyum yang malu-malu karena dapat pujian sekaligus senang. "Buku. Kitab. Dan sempet minta pendapat Ummi juga."
"Heh?" Aku kaget beneran. "Sampai segitunya?"
Dia mengangguk. "Nama itu doa, Yang. Memberi nama yang mengandung makna buruk termasuk bentuk durhakanya orang tua pada anak."
Alisku berkerut. Bertanya heran. "Emang ada orang tua durhaka?"
"Ada," jawabnya, bergeser maju. Tangannya bergerak halus menggenggam tanganku. "Orang tua yang durhaka itu ada."
Aku memasang telinga. Siap mendengarkan. "Gimana gimana?"
"Dulu, di zaman khalifah Umar bin Khatab, pernah datang seseorang Bapak yang mengadukan anaknya pada beliau. Katanya si anak itu nakal, suka ngomong kasar ke dia dan durhaka. Terus, Umar yang ingin melihat perkara secara adil pun memanggil anak tersebut dan memintanya cerita. Akhirnya sahabat Umar berkata pada si Bapak, 'sebelum anakmu durhaka padamu, kamu sudah lebih dulu durhaka terhadapnya'.
"Usut punya usut, ternyata Bapaknya enggak pernah menunaikan kewajiban sebagai orang tua. Di antaranya: enggak memilih perempuan baik-baik untuk dijadikan Ibu dari anak-anaknya; menafkahi menggunakan uang haram; memberikan nama yang buruk, bisa dimaknai juga dengan merendahkan anak; dan enggak mengajarkan agama."
"Perempuan baik-baik itu termasuk apa aja?"
"Baik secara umum. Dalam artian enggak harus punya gelar santri, anak kiai atau sejenisnya."
Aku tersenyum malu. Tahu banget kenapa dia sampai spesifik nyebut enggak harus punya gelar santri atau anak kiai segala.
"Tapi, Yang." Sambung Mas Rega. "Jangan share kisah tadi ke sembarang orang, ya. Takutnya dimanfaatkan buat memvalidasi sikap kurang ajarnya ke orang tua. Atau malah bikin dia merasa berhak berbuat durhaka cuma karena orangtuanya melakukan salah satu dosa barusan. Karena sejatinya, kisah orang tua durhaka ada, itu sebagai bahan introspeksi kita, para calon orang tua atau yang sudah jadi orang tua, bukan untuk menghakimi."
Memberi hormat, aku menjawab, "Siap, Mas Guru."
"Ah, kamu mah." Dia mengusak pucuk kepala, lebih tepatnya rambutku. "Bisa banget bikin aku tambah ngerasa ada yang hilang kalau lagi enggak barengan."
Aku menyengir. Enggak mau berlagak ngelak atau mengatainya gombal. Buat kali ini, apa pun yang dilakukan, apa pun yang dibicarakan, aku enggak keberatan. Termasuk pas dia kukuh menyuapiku menggunakan tangan dan memanggil Sayang, bahkan di depan Disa. Termasuk juga pas dia suka tiba-tiba mengecup punggung tanganku. Atau malam ini yang jadi lebih lengket dari biasanya.
Lalu begitu azan subuh menggema, semua doa yang dilambungkan di hari-hari sebelumnya terasa seperti secercah cahaya di lorong gelap tanpa ujung yang harus kita kejar bersama. Hingga tiba waktunya aku dijemput perawat menggunakan kursi roda, didorong masuk ke ruang operasi dan dipakaikan masker anestesi, kita masih berusaha. Meminta. Merayu. Memaksa. Dan, aku melihatnya. Di antara terang dan gelap yang mulai menarik kesadaran sepenuhnya. Dia, suamiku, bersimpuh dan menangis di depan-Nya, menyebut namaku dalam doa dengan penuh cinta.
Mas ....
Gelap.
Kemudian hening.
Tbc ...
Pendek, ya? Sebenernya di bagian ini harus pakai dua POV. Cuma kayaknya enggak enak klo satu part isinya dua POV. Jadi segini dulu, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romansa#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...