(Rega Damasatya–Sekarang)
•••
"Masih eneg enggak perutnya, Mas?"
Aku menggeleng hanya agar Marwah tidak khawatir. Begitu pintu rumah singgah terbuka lebar, hidungku disambut hawa lembab yang terkurung di dalam. Sekarang pukul 03.21 pagi, dan kita baru saja sampai. Bunyi jangkrik di kejauhan yang melatar belakangi suasana sunyi, serta udara dingin menggelitik tengkuk adalah perpaduan khas alam asri di desa. Gelapnya keadaan juga menciptakan siluet dari pohon-pohon di sekitar yang meliuk diterpa angin.
"Mas istirahat aja," kata Marwah setelah masuk. "Ini barang-barangnya biar aku yang tata."
Menutup pintu, aku menyahut, "Tanggung, sebentar lagi subuh."
Kita melipir ke dalam, menuju kamar di bagian belakang. Ahmad dan rekannya benar-benar merapikan seisi rumah dengan sangat baik. Meja panjang dan deretan kursi rapat di ruang tengah disulap menjadi meja makan. Tumpukan berkas di lemari kacanya pun sudah diamankan, menyisakan mushaf al-qur'an serta beberapa buku bacaan.
Marwah menekan saklar lampu di tembok samping pintu. Suasana terang seketika mengisi setiap sudut kamar, memperjelas adanya ranjang, lemari kayu satu pintu berkaca lebar dan jendela sederhana---saat siang akan nampak bukit di jarak ratusan meter---di tembok seberang. Lalu, aku meletakan koper di dekat kaki nakas, juga tas punggung di atas dipan.
Sekon kemudian, kita mulai sibuk menyimpan semua bawaan, termasuk pakaian, agar mudah digunakan untuk seminggu ke depan. Dan selama itu, Marwah terus mengajakku berbicara banyak hal yang sejujurnya tidak bisa terlalu aku indahkan.
"Kerasa enggak enak, ya?" Selidik Marwah, tiba-tiba. Otomatis aku mengalihkan atensi padanya. "Dari tadi aku perhatiin tangan kamu sering banget pegang perut."
Aku tersenyum tipis.
"Masuk angin kayaknya," jawabku, secara tidak langsung membenarkan asumsi Marwah. Toh, tidak ada gunanya berkelit. Ekspresi wajah, nada bicara dan gerak-gerikku pasti sudah tuntas dia telisik.
Marwah bergeser maju. Menyingsing T-shirt hitam yang aku kenakan sebelum menepuk-nepuk pelan perutku, mencari bunyi yang biasanya muncul ketika kembung. Lantas beranjak mengambil sesuatu di tas selempang miliknya, dan duduk lagi ke tempat semula. Dia menuangkan minyak kayu putih ke telapak tangan, diusapkan ke dada, perut, dan tengkukku.
"Pusing enggak, Mas?" Dia menatapku cemas. Sikapnya yang seperti ini lah yang membuatku ingin selalu berjanji agar tidak pernah melirik perempuan lain.
"Enggak."
"Mas, beneraaaan." Desaknya, tak percaya. "Kamu tuh kebiasaan tahu enggak kalau sakit dipendam sendiri. Bilangnya enggak apa-apa. Giliran ambruk ambruknya enggak tanggung-tanggung."
"Iya, Sayang," kataku, mengeluarkan cara jitu untuk meyakinkan.
Marwah mencebik, ekspresi sempurna keruh. Ditaruhnya botol minyak kayu putih ke lantai dengan kasar. "Apaan, si, pakai Sayang-Sayangan segala."
"Lho." Aku terkejut mendapati responnya yang begitu. "Kan biasanya juga aku panggil Yang, Sayang."
"Beda." Bantahnya.
Alisku menyundut, memandangi wajahnya. "Beda gimana?"
"Setiap panggilan kamu itu punya kesan berbeda buat aku. Kayak Sayang, itu panggilan di hari-hari special. Bisa pas anniversary atau ultah aku. Kesannya manis. Mar sama Yang, panggilan sehari-hari kamu. Kesannya biasa aja, tapi bikin aku tenang karena selalu kedengaran lembut. Neng, panggilan pas kamu nasehatin aku. Di sini kamu punya kesan dewasa dan mengayomi. Terus Mar pakai intonasi datar, atau Marwah, ini kalau kamu lagi marah ke aku. Rasanya nyelekit di hati."
![](https://img.wattpad.com/cover/342896530-288-k284713.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...