part 16

287 38 2
                                    

(Beberapa bulan lalu - Rega Damasatya)

•••

Kabar mundurnya aku dari perusahaan jelas membuat semua keluarga geger. Dan sekarang adalah waktu tepat untuk mereka bertanya-tanya banyak hal. Aku malas meladeni. Menarik diri tentu menjadi opsi. Sayangnya, tidak bisa juga sepanjang hari aku begitu. Ada kalanya aku harus bergabung bersama, pun tidak mungkin mengelak saat ditodong kalimat bersoal.

Rata-rata---tidak terang-terangan---menganggap keputusanku tindakan bodoh. Ada pula yang seolah senang karena ... Ya, bisa dibilang ada persaingan harga diri di antara laki-laki. Persaingan yang kerap kali memanas jika salah satunya berhasil mencapai tangga keberhasilan. Bahkan tak jarang menyebabkan renggangnya hubungan. Jujur, aku tak pernah mau peduli akan semua itu. Namun malam ini, entah kenapa, aku sedikit terganggu. Terlebih saat Marwah dibawa-bawa dalam obrolan.

Mungkin benan jika aku ini baperan. Alhasil begitu ada kesempatan pergi, aku beranjak tanpa permisi. Dan di sinilah aku. Duduk termangu di meja makan sambil bermain gawai. Atau lebih tepatnya sibuk membagi uang untuk banyak hal, termasuk biaya kuliah akhir Aliyah-Aisyah dan biaya kontrol bulanan ayah yang lumayan besar. Aku tidak keberatan, sungguh. Bagaimanapun aku yang bersikeras untuk menanggung semua keperluan keluarga Marwah. Meski tak bisa dipungkiri, dalam keadaan aku yang sekarang, pengeluaran tadi cukup memberi efek signifikan terhadap kelangsungan ekonomi. Maksudnya, andai tak digunakan, jumlah tabungan di rekening sanggup menyambung hidup keluarga kecilku hingga satu tahun ke depan, bukan beberapa bulan.

Aku menghela napas berat. Rasanya susah untuk tidak bingung. Pendapatan dari hasil kebun dan ternak memang menjanjikan, tapi tidak bisa seratus persen diharapkan karena tidak ada kepastian per bulan. Juga tidak akan sama seperti saat aku masih bekerja sekaligus memiliki saham di perusahaan. Marwah paham itu. Namun dari caranya menahan diri untuk tidak membeli sesuatu yang diinginkan, atau diam-diam menyisihkan uang belanja demi menekan pengeluaran membuatku uring-uringan. Tidak. Aku tidak sedang ingin memvalidasi gaya hidup dengan hedon. Hanya saja, Marwah itu jarang sekali meminta. Jalan-jalan pun selalu aku yang memaksa. Jadi mendapati dia yang bersikap demikian, aku terenyuh dan tidak tega.

Ditambah ada problem terkait alasan Marwah sering merasa rendah di depanku. Selama ini, aku kira hal tersebut masih berkaitan dengan efek cedera kepala. Ternyata tidak sepenuhnya. Yuda memintaku agar tidak terlalu risau selagi tak mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Katanya, dalam sebuah hubungan, kasus serupa banyak ditemukan, terutama bagi perempuan. Penyebabnya bermacam-macam. Bisa karena rendahnya kepercayaan diri. Bisa juga gangguan psikologis seperti stres dan gangguan cemas. Atau ada faktor pemicu dari luar.

Beberapa tips yang Yuda berikan sudah aku lakukan, bahkan ternyata jauh sebelum ini. Sayangnya semua itu tetap tidak ada guna misal Marwah tidak menyadari kalau dia adalah segalanya bagiku. Pun, akulah yang sangat menginginkan dia, bukan sebaliknya.

"Cie, udah resmi jadi Bapak-Bapak, nih, ye."

Aku menoleh, menemukan Mbak Rahma yang mendekat.

"Keadaan Marwah gimana?" tanyanya, duduk di seberang.

"Enggak apa-apa," sahutku. "Sudah pulas dia."

"Alhamdulillah." Mbak Rahma kelihatan lega. "Sebenernya sejak para tamu datang, Mbak udah ngeh kalau dia mulai enggak nyaman."

"Bau minyak misik. Dia enggak bisa nyium yang terlalu nyengat."

"Nah, iya. Tapi disuruh masuk enggak mau. Katanya baik-baik aja. Eh, beneran ambruk, dong."

"Marwah orangnya gampang rikuh, Mbak. Tadi saja, setelah hampir setengah jam muntah-muntah di kamar mandi, dia masih ngeyel pengen gabung lagi."

"Padahal mah enggak ada yang gimana-gimana sama dia, Ga. Lagian kita-kita juga ngerti, kok."

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang