(Beberapa bulan lalu - Marwah Syaiqila)
•••
"Yang ...."
"Aku enggak apa-apa." Aku menutup pintu kamar mandi, bergerak ke arah nakas dan meraih minyak angin di sana. Lalu duduk di pinggir dipan.
Mas Rega berjongkok di depanku. Tatapannya menelisik. "Beneran enggak apa-apa?"
Sambil menghirup aroma mint yang bikin bagian dalam hidung kerasa dingin, aku mengangguk. "Beneran. Enek dikit doang ini, nanti juga ilang sendiri. Kamu kalau mau makan sop tetelan kambingnya, enggak apa-apa, makan aja. Punyaku disimpan atau enggak kasihkan ke orang."
Dia menggeleng. "Kalau kamu enggak, aku juga enggak. Nanti aku kasih dua duanya ke satpam. Sekalian sama oleh-oleh yang aku beli di Batam."
"Jangan gitu lah, Mas. Aku tambah enggak enak hati nih jadinya."
"Enggak enak hati kenapa? Wong cuma sop, kok."
Aku tahu Mas Rega kecewa. Gimanapun dia udah bela belain dari bandara mampir ke warung buat beli sop itu. Belum lagi harus antri segala mengingat pembeli di sana lumayan ramai. Tadi aja wajah Mas Rega semringah banget pas nunjukin isi plastik yang ditenteng. Tapi aku enggak bisa bohongi diri sendiri. Baunya bener-bener bikin mual enggak keruan.
Dan, ya, aku memang enggak jemput Mas Rega ke bandara. Aku enggak tahu jam berapa pesawatnya tiba. Semalam lupa buat tanya, dan pesan yang aku kirim subuh subuh enggak dibaca---barusan aku tahu kalau hp Mas Rega kehabisan daya. Untung aku punya feeling buat pamit pulang pagi dan sempat belanja. Jadi pas Mas Rega sampai sekitar jam sembilan kurang, aku udah di rumah menyambutnya ... Secara enggak sengaja.
Mas Rega bangkit. Satu tangannya menyelipkan anak rambutku ke telinga. "Aku ke depan dulu kalau gitu."
Sesudah Mas Rega keluar, aku turun dari ranjang dan duduk di karpet bulu di tengah ruang. Kardus besar yang tadi Mas Rega bawa aku bongkar. Isinya penuh sama makanan yang nanti bakal diambil sama si pemesan. Termasuk Aliyah-Aisyah.
Dirasa enggak ada satu pun yang pengen dimakan, aku menutup lagi kardus dan menyimpannya di bawah meja. Lalu beralih ke koper Mas Rega. Baju yang masih rapi aku tata ke lemari. Sisanya aku tumpuk buat dibawa ke belakang. Tapi sebelum itu, aku mengendusnya lebih dulu karena mencium sesuatu.
"Rokok?" Hidungku mengernyit. Menghidu aromanya lebih dalam. "Iya ...."
"Yang."
Aku menoleh, meletakan baju ke pangkuan.
"Udah?"
Dia mengangguk.
"Mas mau makan sekarang? Aku gorengin ayam, ya?"
"Nanti aja. Aku mau mandi dulu. Sama ini ...." Mas Rega menyingsing lengan sweater. "Nanti tolong bantu perban."
"Ya Allah, Mas." Aku buru-buru bangkit. Menghampiri dan meraih tangan Mas Rega. Ada cairan bening bercampur sedikit darah di lukanya. Pasti gara-gara gesekan baju. Aku meringis, kebayang perihnya kaya apa. "Kok dibiarin kebuka gini, si?"
"Perban yang lama aku lepas sebelum subuh. Mau pasang yang baru tapi enggak sempat."
Menurunkan tangannya hati-hati, aku mengangguk. "Ya udah, sana mandi."
Begitu dia masuk ke kamar mandi, aku mulai menyiapkan baju gantinya sama kotak P3K. Dilanjut beresin koper dan tetekbengek yang ada di kamar sebelum membuka jendela.
Suamiku tuh kalau mandi lamanya melebihi anak perawan. Jadi enggak heran kalau pas aku udah rampung, dia belum juga keluar. Barulah beberapa menit setelah aku duduk nunggu di pinggir ranjang, knop pintu kamar mandi yang diputar terdengar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
عاطفية#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...