part 27

288 29 13
                                    

(Marwah Syaiqila–Sekarang)

•••

"Tadi aku ketemu Fatma," kata Mas Rega setelah diam cukup lama. "Dia sudah jelasin semuanya."

Tenggorokanku tercekat.

"Aku kecewa sama kamu, Mar." Sambungnya, rendah. "Sangat-sangat kecewa."

"Mas." Suaraku bergetar parah. "Aku ...."

Mas Rega bangkit dari kursi samping brankar dengan kasar. Begitu dia keluar, tangisku jebol serupa bendungan. Aku membekap mulut kuat-kuat, takut kedengeran orang. Tapi Mama langsung menyingkap tirai hijau yang mengelilingi ruang, pertanda isakku sampai ke telinga beliau.

Aku enggak ingat pasti kejadian semalam. Yang jelas, tujuanku keluar kamar itu buat ambil minum, dan kepala yang tiba-tiba keliyengan bikin aku singgah dulu di meja makan. Aku kira aku bakal bablas ketiduran. Enggak tahunya giliran bangun malah udah berbaring di atas brankar. Lalu saat menoleh ke samping, aku lihat Mas Rega duduk bersandar punggung ke kursi sambil bersedekap. Matanya terpejam. Aku yang yakin kalau dia enggak tidur pun memanggil lirih.

Sayangnya, alih-alih raut sumringah, aku justru disuguhi tatapan muram. Terus pas diajak ngobrol Mas Rega-nya juga terkesan enggan. Sedangkan kalau enggak diajak dia bakal kukuh diam. Di sini aku masih belum gimana-gimana. Baru setelah Mas Rega enggak kunjung pulang dari subuhan di mushala, padahal keadaanya aku sendirian dan butuh bantuan buat mengembalikan mukenah yang sempat Mas Rega pinjam ke salah satu perawat, aku mulai dilanda gusar. Belum lagi dia yang enggak jawab panggilan, atau sekadar baca pesan.

Akhirnya aku putuskan untuk beranjak. Sambil menyeret-nyeret tiang infus di lorong klinik, pandanganku mengedar mencari Mas Rega di antara lalu lalang beberapa orang, yang nahasnya pada memperhatikanku penuh iba---kalau diterjemahkan mungkin gini, "sedang hamil besar kok enggak ada yang nemenin sih dia. Kasian banget." Cuma, aku setel cuek dan tetap melanjutkan kaki sampai ke meja resepsionis, menitipkan mukenah. Sesudahnya cepat-cepat kembali ke ruangan, bengong nungguin Mas Rega.

Untungnya Mama datang enggak lama kemudian. Tapi kabar yang beliau sampaikan perihal Mas Rega yang ternyata lagi keluar membuat dadaku nyeri bukan kepalang.

Ya Allah, Mas. Aku nunggu kamu kayak orang ilang. Kamunya malah main pergi gitu aja.

Sekonyong-konyong, mataku menggenang. Aku buru-buru menyekanya sebelum ketahuan Mama. Lantas tersenyum pada beliau, berusaha bersikap biasa dan berdalih kalau Mas Rega sebenernya udah pamit demi menutupinya.

Sekian menit berselang, Mas Rega datang, meminta Mama meninggalkan kita. Lalu detik di mana suamiku duduk di kursi samping brankar, sakit hatiku berubah jadi rasa takut. Sadar kalau aku udah bikin kesalahan fatal. Dan benar. Dua patah kalimat yang dia ucapkan barusan lolos membuatku merasa jadi perempuan paling bodoh sedunia. Kenapa? Karena istri yang kehilangan kepercayaan suaminya sama aja kehilangan surga. Baik secara harfiah. Atau pun makna sebenernya. Kalau udah gini, apa lagi yang bisa aku harapkan atas sikapnya ke depan?

Udah. Bodo amat sama yang namanya malu, aku tersedu-sedu di pelukan Mama. Merengek kayak anak kecil, mohon ke Mama supaya mau bujuk Mas Rega biar enggak marah. Mama yang enggak ngerti apa-apa pun bertanya pelan-pelan setelah aku tenang. Udah kepalang tanggung, mau enggak mau aku menceritakan semuanya.

"Mar." Beliau menggenggam tanganku. Aku mengangkat wajah yang semula tertunduk. Mama tersenyum lembut. "Rumah tangga itu dijalani dua orang. Bukan kesamaan pendapat yang dibutuhkan, melainkan saling rempug untuk mencari jalan tengah di antara kalian. Jadi salah kalau kamu berpikir untuk menanggung suatu hal sendiri, beralasan enggak mau bikin Rega khawatir. Salah kalau kamu ngerasa terbebani sama perhatian yang Rega kasih. Dan salah kalau kamu ngerasa enggak pantes dapat semua cintanya dia. Sebab, Rega yang udah milih kamu. Dia mau merangkul kamu di setiap situasi. Mau tahu masalah kamu. Mau dibuat repot sama kamu. Terpenting, dia mau kamu mengandalkan dia seperti kamu mengandalkan Ayah." Genggaman Mama makin erat. "Rega bukan orang yang gampang nerima tanggungjawab, Mar. Tapi sekalinya nerima, dia akan mengembannya dengan sepenuh jiwa. Dulu aja pas kecil dia rela enggak ikut Mama Papa ke rumah nenek gara-gara Kenzie nitipin anak kelincinya. Padahal di rumah ada Mbak yang bisa jagain si kelinci selama Rega pergi. Katanya, 'aku udah bilang iya ke Kenzie, Ma. Lagian Kenzie kan nitipin kelincinya sama aku, bukan Mbak. Berarti aku yang harus jagain'. Selama itu, Mar, dia bener-bener jagain kelinci Kenzie layaknya punya sendiri."

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang