part 23

244 28 4
                                    

(Rega Damasatya–Sekarang)

•••

"Itu hanya hasil pengamatanku, Josh. Bisa benar. Bisa juga salah. Jangan terlalu dipikirkan. Lagipula, menjadi orang tua bukan soal teori. Tapi praktik di lapangan."

"Tidak, Damas. Kau tahu, setiap kali melihatmu beribadah, aku kadang berpikir, jika Glen adalah manusia taat sepertimu, apa dia juga akan memperlakukanku seperti kau memperlakukan orangtuamu? Namun setelah mendengar kata-katamu barusan, aku sadar kalau masalah agama tidak selamanya menjadi tolak ukur, meski tak bisa dipungkiri hal teresebut pun berkontribusi. Maksudnya, status paling mendasar yang kita semua sandang adalah status sebagai manusia, makhluk yang dibekali hati, perasaan dan pikiran. Rasanya sangat tidak adil jika para orang tua menuntut perhatian di saat mereka sendiri saja kurang memberi perhatian, ingin dihormati tapi tidak mau menghormati dengan dalih usia, beranggapan bahwa orang tua selalu paling tahu segalanya, lantas merasa pantas mengambil alih kendali atas hidup anaknya. Lalu ketika anak memilih memperjuangkan hak, anak tersebut dicap pemberontak."

Josh menghela napas berat.

"Sikap Glen selama ini memang refleksi atas sikapku padanya di masa lalu, Damas. Tak semestinya aku mendramatisir keadaan, berlagak seolah aku yang paling menderita. Aku dan dia memiliki ikatan batin karena hubungan darah. Namun baik atau buruknya hubungan kita ditentukan oleh kualitas komunikasi dan interaksi. Anak ibarat gelas. Apa yang kita tuang, itu yang akan kita minum. Tak heran bila teringat denganku, hal pertama yang Glen rasakan adalah kemarahan dan kekecewaan."

Aku tak sepenuhnya setuju dengan Josh. Tapi aku tidak mau mendebat. Atau memihak salah satunya. Karena yang pasti, ridha Allah ada pada ridha orang tua. Dan anak adalah anugrah yang wajib dijaga dan dirawat. Baik secara zahir maupun batin. Fisik dan mental. Jasad dan ruh.

"Damas."

"Ehm."

"Terima kasih." Josh tersenyum tulus.

Aku balas tersenyum. "Padahal aku tidak melakukan apa-apa."

Beliau mendengkus geli. Kepalanya menggeleng kecil, tak habis pikir. "Apa kau memang selalu seperti ini?"

"Seperti ini ...." Alisku bertaut, bingung. "Bagaimana?"

"Sifat rendah hatimu. Kau bisa saja menolak anggapan bahwa kau memiliki kontribusi di balik alasan Glen meminta Helen untuk mengundangku ke rumahnya. Atau ... Baiklah jika kau tidak pernah melihat iklan yang aku pasang di internet, dan menghubungiku atas bujukan Glen yang khawatir sebab ada berita penemuan mayat seorang pria yang diduga dibunuh oleh penyewa rumahnya. Tapi faktanya keadaan berubah setelah kau datang. Kau membantuku lebih dari yang kau sadari, Damas. Kata-katamu, kepedulian dan ketulusan yang kau tunjukan sudah berhasil merubah pola pikirku. Kau juga diam-diam menjadi penghubung di antara aku dan Glen."

"Kau terlalu berlebihan," kataku, sungkan. "Aku sungguh tidak melakukan apa-apa. Percayalah, Josh. Dibanding Helen, bantuanku tidak ada artinya."

"Yah, terserahlah apa maumu." Josh pasrah. "Tapi ngomong-ngomong. Kau serius akan pulang ke Indonesia akhir pekan ini?"

"Iya."

"Bukankah kau ada janji bertemu seseorang untuk menggali informasi terkait orang yang sedang kau cari itu?"

"Sudah aku batalkan. Marwah tidak bisa lama-lama tinggal di sini."

"Karena Angelin?"

"Bukan." Aku kembali tersenyum agar Josh tidak merasa bersalah atas perbuatan cucunya. "Angelin tidak ada hubungannya sama sekali. Aku hanya merasa, akan lebih baik jika aku membawa Marwah pulang sebelum udara semakin dingin."

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang