part 36 (a)

141 18 9
                                    

(Marwah Syaiqila—Sekarang)

•••

Mas Rega bangkit dari kursi. Tanpa kata, dia membawa kepalaku ke pelukannya.

Seketika isak tangisku jebol di sana, air mata membasahi kaos di bagian perut Mas Rega. Perayaan ulang tahun yang sepantasnya jadi momen bahagia malah berubah drama.

Aku memang suka enggak jelas. Mood-nya naik turun. Labil. Tapi buat yang sekarang, aku benar-benar takut. Bayangan buruk itu susah banget ditepis pergi.

Gimana kalau operasinya enggak berjalan lancar?

Kalau akunya kenapa-napa, gimana nasib Mas Rega?

Terus anak-anakku, apa mereka bakal baik-baik aja?

Ya Allah, ya Rabb ....

Dan Mas Rega, aku tahu dia juga ngerasain hal serupa. Itulah kenapa dia diam-diam berencana membawaku ke Singapura sampai harus pinjam uang Kenzie segala. Tujuan kita datang ke sini pun enggak lain adalah untuk mencari semacam pegangan bernama tawakal melalui nasihat para ustadz.

Kalau boleh jujur, aku sebenernya kasihan sama Mas Rega. Dia yang ibaratnya udah babak belur karena masalah kantor harus diterjang lagi sama perkara ini. Ditambah aku yang apa-apa ngeluhnya ke dia. Padahal dari awal aku yang memilih buat sok mampu menanggungnya sendiri.

Ah, iya. Andai aku mau langsung jujur ke Mas Rega dan enggak menggampangkan preeklamsia, mungkin enggak gini endingnya. Kan?

Aku sedikit memberontak di pelukan Mas Rega. Mendadak kesal dan marah pada diri sendiri.

"Mas, aku yang salah!" Seruku. "Selama ini aku selalu bilang enggak apa-apa. Menganggap kekhawatiran kamu berlebihan ...."

"Ssttt." Mas Rega menginterupsi. Mengeratkan pelukan. Satu tangannya mengusap-usap punggung. Aku enggak berdaya. Tapi tangis semakin menggila. "Enggak ada yang salah dan enggak akan ada pilihan antara kamu atau anak-anak kita. Kamu cuma overthinking."

Ucapan Mas Rega cuma sebatas penenang. Faktanya, apa yang aku minta itu memang kemungkinan yang dokter Fatma bilang.

"Mar." Suaranya lembut banget. "Aku tahu ini enggak gampang. Tapi untuk sekarang, lebih baik kita fokus saja pada hal-hal yang positif selagi terus berikhtiar. Dokter dan rumah sakit akan aku upayakan cari yang terbaik. Doa pada Sang Khaliq, baik aku atau kamu, kita sama-sama memanjatkan di setiap sujud. Tinggal bagaimana kita berprasangka baik sama takdir-Nya. Oke?"

"Kalau takdir terbaik versi Allah enggak kayak yang kita mau gimana?" tanyaku, lirih.

Mas Rega enggak menyahut. Paham banget kalau di kondisi ini aku enggak bakal gampang dibikin legawa dengan kata-kata.

***

Mas Rega menghentikan mobil di depan kompleks pondok putra. Setelah melepas sabuk pengaman, dia keluar dan membukakan pintu. Kayak biasa, tangannya selalu sigap membantu sambil satunya melindungi di atas kepalaku.

"Kita ke ndalem dulu ketemu Ummi," kata Mas Rega, lebih tepat disebut pemberitahuan ketimbang ajakan.

"Iya, Mas."

Mas Rega menggandeng tanganku. Suhu badannya lebih hangat dari biasa. Kita melangkah ke kediaman keluarga pengasuh sekaligus pemilik pesantren sama-sama. Letaknya yang dekat dengan pondokan putra membuat pengeras suara acara haul terdengar nyaring di sini.

"Assalamualaikum." Uluk salam Mas Rega.

Dari arah dalam, mbak abdi ndalem tergopoh-gopoh keluar sembari menjawab salam. Lantas mempersilakan masuk dan duduk. Enggak lama, nampan berisi teh dihidangkan ke meja. Disusul kedatangan Ummi dengan kursi roda yang didorong salah seorang santri putra. Beliau udah kehilangan penglihatannya sejak beberapa tahun silam karena faktor usia. Enggak heran pas Mas Rega maju dan sungkem, satu tangan Ummi meraba-raba pundaknya seolah berusaha mencari tahu siapa dia.

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang