(Marwah Syaiqila–Sekarang)
•••
Aku mendongak. "Mas."
Mas Rega menoleh. Satu tangannya menggandeng tanganku. Satunya lagi membawa sandal jepit. Punyaku. Yang sengaja dilepas karena mau sekalian joging selagi jalan pulang setelah ikut ngaji subuh di pesantren, kegiatan umum yang rutin diadakan.
Bukan rahasia lagi kalau suasana di pedesaan itu asri. Pemandangannya masih hijau. Adem di mata. Udaranya pun segar, apalagi pas pagi kayak gini.
"Berdasarkan ceramah ustadz tadi, berbakti ke suami itu sama kayak berbakti ke orang tua," kataku, memberi umpan. "Dalam artian enggak ada kata kecuali. Ya, Mas?"
"Ehm." Singkat padat dan jelas.
Eh?
"Ehm doang?" Aku bertanya memastikan. Plis, deh, Mas. Aku udah excited buat menyimak, ngarep banget bakal dijelasin panjang lebar. Hitung-hitung tuntasin kajian barusan.
"Harusnya apa?" Dia malah balik nanya dengan polosnya.
Wajahku merengut. Lantas melepaskan gandengan. Berjalan mendahului. Ih, nyebelin!
"Lho, Yang." Mas Rega kaget. Bergegas menyusul. "Hei, kenapa?"
Melengos, aku menarik tangan yang mau dia pegang. Lewat ekor mata, aku melihat alisnya menyudut.
"Aku ada salah?" tanyanya, bingung.
Aku berdecak kesal perihal dia yang enggak nyadar. "Mas jawabnya singkat banget. Kesannya jutek. Aku tuh maunya Mas jelasin panjang lebar."
Alisnya makin menyudut. Lalu ber-oh pelan, agaknya paham. Bibirnya tertarik samar. Enggak sedikitpun kesal. Dia kembali menggenggam tanganku. Memilih ngalah ketimbang menyanggah. "Mas enggak tahu. Maaf, ya?" bujuknya. Dan itu bikin aku ngerasa bersalah seketika.
Kekanakan banget enggak si aku? Lebay.
Aku mengembuskan napas.
"Maksud aku, apa berarti bakti di sini itu bakti yang membodohi?" kataku, menjelaskan. Membuang ego perempuanku yang maunya bisa langsung dimengerti. "Soalnya banyak banget laki-laki yang suka bertindak seenaknya pakai kedok agama. Dikit-dikit dosa. Dikit-dikit bawa neraka. Bahkan kadang pakai dalil yang seolah-olah memojokkan perempuan. Katanya, penghuni neraka itu lebih banyak perempuan. Dan alasannya karena enggak berbakti sama suami."
Mas Rega mengangguk.
"Melakukan perintah Allah, hitungannya bukan pakai hitungan dunia. Saat seorang istri tetap taat ke suaminya meski dizalimi, sejatinya dia lagi menaati perintah Allah. Ini bukan pembodohan. Tapi berakad pada Allah. Istilahnya ikhlas. Enggak peduli balasan dari manusia. Toh, suami yang dzalim pasti akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Tapi bukan berarti islam membenarkan tindakan suami yang begitu. Di samping dalil yang isinya perintah bagi para istri buat berbakti ke suami, banyak juga dalil yang isinya perintah bagi suami agar memuliakan istri. Kajian soal ini, itu sepaket. Enggak boleh dipisah-pisah ngambilnya. Lagipula, untuk membentuk istri yang konitatun dan hafidhotun fil ghoib itu dibutuhkan suami yang qowwam. Bisa memberi nafkah, baik secara batin dan materi, juga membimbing istri. Dan ini hukumnya wajib, sama kayak hukum taat-nya istri ke suami. Itulah kenapa ada seperangkat alat salat sebagai salah satu mahar. Sayangnya, kebanyakan laki-laki cuma fokus memenuhi yang duniawi. Istri enggak menutup aurat, dimaklumi. Istri enggak salat, dibiarin. Nyari uang saja kerjanya. Termakan stereotip kalau perempuan itu matre. Jadi ya wajar kalau punya istri yang enggak bisa taat ke suami."
![](https://img.wattpad.com/cover/342896530-288-k284713.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...