part 33

160 16 2
                                    

(Marwah Syaiqila—Sekarang)

•••

Ada beberapa hal yang harus Mas Rega selesaikan di luar sebelum kita sowan ke pesantren. Aku yang enggak dibolehin ikut, katanya takut nanti kecapean, juga enggak boleh di rumah sendirian karena bikin dia kepikiran, dititipkan ke rumah Mama bersama selusin wejangan yang sejujurnya berlebihan. Maksudnya, ya kali aku mau di kamar terus selagi nunggu dia. Selain bosan, aku juga enggak enak sama Mama. Namanya masih baru ya kan. Mau sebaik apa pun mertua, tetap lah ada rasa rikuhnya.

Tapi di lain sisi, aku lega. Dengan mengajakku ke sini, itu artinya Mas Rega enggak gimana-gimana ke Mbak Susan setelah kemarin aku ngoceh panjang lebar. Aku beneran enggak mau Mas Rega berselisih paham sama keluarganya. Karena gitu-gitu pun, dia tuh serem kalau udah kadung marah. Bukan tentang main tangan atau kata-kata kasar. Melainkan sikap dingin dan acuh tak acuhnya yang justru jauh lebih nyelekit ngena ke hati---aku pernah nyicip ini.

Ngomong-ngomong soal marah, aku rasa Mas Rega udah sampai di titik didihnya perkara polah si Tomi.

Ya ... aku memang enggak diizinkan terlibat apa-apa. Cuma, aku yakin si kalau Mas Rega enggak bakal tanggung-tanggung menyeret dia ke penjara, enggak peduli apa-apa. Terbukti dari banyaknya orang yang dia libatkan untuk membuat laporan. Dan jangan lupakan tabiatnya yang enggak mau dengerin omongan orang luar. Udah. Pokoknya mah selagi dia yakin tindakannya benar, enggak ngerugiin pihak lain, keputusan suamiku enggak bisa digoyahkan.

"Beneran jangan ngapa-ngapain ya?" kata Mas Rega ... Entah yang ke berapa.

"Sekali lagi kamu ngomong gitu, fix, dapat piring cantik, Mas," kataku.

Mas Rega tersenyum. Genggamnya mengerat. Jempol Mas Rega mengusap-usap punggung tanganku selagi matanya menatap ke wajah.

"Nanti mau nitip apa? Bakso di persimpangan pasar itu?"

"Hari ini niatnya aku mulai diet," jawabku, sok sok-an. Sedetik kemudian menyesal karena faktanya aku udah ngiler duluan bayangin kuahnya yang aduhai. Jadi aku buru-buru menambahi sebelum Mas Rega menarik tawan tadi. "Tapi berhubung kamu maksa, ya, aku enggak mungkin bilang enggak. Kan?"

Senyum Mas Rega berubah geli. "Yang urat atau telur?"

"Em, apa ya?" Aku menggoyang-goyangkan gandengan serupa anak kecil, berlagak perlu mikir. Padahal mah mau dua-duanya. "Bingung. Menurut Mas enakan mana?"

"Dua-duanya enak asal makannya pas laper."

"Ya, iya si. Cuma kalau disuruh milih salah satu ...." Sengaja menggantung kalimat, kode keras. Gengsi terang-terangan maruk.

"Dua-duanya saja sudah." Putus Mas Rega. "Gampang kalau enggak habis bisa buat aku."

"Enggak habis mangkuknya, Mas." Cicitku, dalam hati bersorak girang.

Dia terkekeh pelan. Satu tangannya yang lain terulur membetulkan bagian depan kerudung kainku yang tersingkap angin.

Tiba-tiba dehaman yang dibuat-buat terdengar dari dalam rumah. Mbak Rahma yang beberapa menit lalu masuk ngambil botol minuman Disa menghampiri sambil berdecap lidah. "Dunia milik berdua. Anakku serasa jadi figuran." Sindirnya.

Aku dilanda malu. Dengan kikuk menarik tangan. Beneran sempet lupa sama Disa. Anak itu ... Duh, tau deh. Dulu gara-gara Mas Rega keceplosan manggil aku "Yang" di depan dia aja dibahas mulu. Dan ya, hari ini Disa berangkat ke sekolahnya siang. Kebetulan banget tujuan Mas Rega searah ke sekolahan Disa. Singkat cerita, Mbak Rahma yang mampir dengan niat nitipin Kila sama Mama akhirnya menghela lega sebab Disa mau berangkat diantar Om-nya.

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang