Bacanya pelan-pelan, ya, biar enggak salah tangkap.
(Rega Damasatya–Sekarang)
•••
Aku mengelap tangan menggunakan serbet yang menggantung di dekat wastafel. Lantas beranjak keluar dapur, mencari Marwah. Dia aku temukan di kamar.
"Yang."
Kursi putar yang diduduki sedikit bergeser saat Marwah menoleh.
"Ngapain?" tanyaku, mendekat. "Pamitnya ngambil tisu, tahunya malah anteng di sini."
Marwah menggeleng. Pipinya merona. Senyum ditahan malu-malu. Dia bangkit. Dompetku yang semula dipegang diletakan ke meja kerja. Tanpa permisi, Marwah melipir pergi.
Alisku mengernyit kecil. Apa ada sesuatu? Aku meraih dompet. Tidak ada hal aneh. Kecuali urutan beberapa foto Marwah yang aku simpan di bagian depan dompet yang berubah. Aku tersenyum. Pantas ekspresinya begitu.
Entahlah. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele dan tidak diniatkan untuk merayu justru sukses membuatnya tersipu. Selama kita menikah, ini kali pertama Marwah membuka dompetku. Katanya, dia tidak mau jadi maruk jika melihat semua isinya. Mungkin karena sekarang aku pengangguran, dia berani mengintip.
Aku menyusul Marwah setelah mengantongi dompet dan hp ke saku celana khaki. Istriku sudah siap di meja makan. Saat aku baru saja mendaratkan badan di kursi seberang, dia berujar, "Mas, tiba-tiba pengen makan nasi goreng buatan kamu masa."
"Nasi goreng? Sop tomat sama ikan gorengnya enggak jadi?"
"Jadi. Makannya nanti tuh pakai nasi goreng, sop sama ikan."
"Oh." Aku mengangguk sambil berdiri. "Oke."
"Ikhlas, kan?"
Tersenyum, aku meraih mangkuk nasi. "Pertanyaan paling aneh."
Marwah menyengir lebar. "Makasih."
Aku berbalik badan, bergerak ke pantri. Meletakan wajan ke kompor listrik sebelum menyingsing langan sweater yang aku kenakan. Lalu mulai menyiapkan bahan. Dapur minimalis ini menyatu dengan ruang makan. Di depan wastafel ada jendela lebar yang mengarah ke halaman belakang. Pagar kawat tinggi mengelilingi, menjadi sekat antar rumah. Kawasannya sepi, hampir seperti tak berpenghuni. Nyaman untukku. Tapi tidak dengan Marwah.
"Mas." Marwah memanggil saat aku sedang memotong bawang.
"Ehm."
"Hukum salju dan tanah itu sama enggak, si? Maksudnya, gamis yang menyapu tanah kan sah tuh buat salat. Sebab, misal di jengkal tanah pertama ada najis, jengkal tanah selanjutnya bersifat suci. Asal, keadaan tanahnya kering hingga bentuk najisnya enggak keliatan jelas melekat secara fisik. Sementara, kalau najisnya basah, entah karena jalanan becek atau kecipratan pipis, cara ngebersihinnya harus dibilas pakai air. Dan kalau najisnya sesuatu yang punya wujud, kayak kotoran ayam, bagian yang kena wajib dicuci sampai bekas, warna dan baunya hilang. Nah, salju nih gimana? Wujud padat tapi sifatnya basah."
"Salju asalnya dari apa?"
"Air yang mengalami pembekuan dan pengkristalan."
Aku beralih memotong sosis. "Air hujan itu suci atau najis?"
"Suci."
"Kalau jatuhnya ke comberan?"
"Jadi najis."
"Sama. Salju pun gitu. Tergantung jatuhnya di mana. Masalah gamis menyapu tanah, ada pendapat lain ... Kamu tahu Buya Yahya?"
"Tahu."
![](https://img.wattpad.com/cover/342896530-288-k284713.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...