part 8.

328 27 1
                                    

(Beberapa bulan lalu – Marwah Syaiqila)

•••

"Marwah, plis!" Mas Rega memotong ucapanku. "Kamu sudah keterlaluan."

Rahangku mengerat. Pandangan mulai mengabur karena air mata. Secara alami tangan mengepalkan di samping badan. Emosi yang aku tahan di dada udah enggak tahu sebanyak apa, yang jelas rasanya nyesek banget sampai embusan napasku jadi berat dan cepat. Sumpah, aku enggak ngerti lagi sama jalan pikiran Mas Rega. Setelah uang, sekarang dia harus kehilangan semua saham dan mundur dari pekerjaan. Karir yang dirintis dari nol hancur demi melindungi manusia enggak tahu diri bernama Tomi.

Rasa-rasanya aku pengen mengguncang kuat bahu Mas Rega sambil berteriak di telinganya, "Mas, sadar! Bangun! Kamu bukan tokoh antagonis sinetron azab. Kalau kaya gini caranya, aku mau kamu kasih makan apa?! Optimisme kalau Tomi enggak seburuk yang dikira, terus tiba-tiba datang dan mempertanggungjawabkan semuanya?!"

Tapi, enggak. Untuk apa pun alasannya, aku memilih menahan suara.

"Aku enggak pernah keberatan nemenin kamu berjuang lagi dari bawah. Tapi sebagai perempuan biasa, aku enggak mau hidup susah," kataku, pelan. Lalu berbalik badan masuk ke dalam. Meninggalkan dia bergeming bersama tumpukan berkas di meja ruang tamu.

***

Keesokan paginya, Papa-Mama datang ke rumah. Mereka berdua memang aku kasih tahu masalah ini. Berharap bisa membujuk Mas Rega untuk mempertimbangkan lagi keputusannya. Sayangnya, suamiku itu sekeras baja. Bahkan mungkin lebih. Diskusi berjam-jam yang tadi dilakuin berujung sia-sia, dia tetap sama pendiriannya.

Udah. Di sana pokoknya aku udah mengkal banget. Luber semua air mataku di depan Mama. Untung beliau sangat pengertian. Sikapnya enggak pernah memberi kesan seorang mertua, bikin aku nyaman kalau mau curhat soal apa pun, terutama watak nyebelin putranya---yang enggak mungkin aku ceritain ke Ayah-Ibu demi menjaga nama baik Mas Rega. Jadi, Mama adalah opsi terbaik.

Kaya sekarang. Beliau dengan lembut mengusap lengan atasku. Kamar tamu yang sengaja aku pilih sebagai tempat kami mengobrol disinggahi semilir angin lewat jendela geser yang dibuka. Sayup-sayup suara Papa dan Mas Rega dari teras depan terdengar timbul tenggelam.

"Kalau Mama ada di posisi kamu, Mama juga akan berpikir begitu. Sabar aja, ya, Sayang. Mama yakin Rega punya banyak pertimbangan sebelum mengambil pilihan. Dan enggak ada maksud sedikitpun mengabaikan ucapan kamu."

Aku menyusut ingus. Mata rasanya udah susah buat melek lebar karena sembab.

"Anggap saja ini ujian untuk pernikahan kalian. Kesempatan agar kamu dan Rega bisa saling menguatkan satu sama lain."

Setelah menumpahkan uneg-uneg di depan Mama, aku merasa lega. Jadi malamnya aku enggak punya alasan tidur memunggungi Mas Rega.

"Sekarang gimana? Kita enggak harus jual rumah, mobil, terus hidup ngontrak, kan?"

"Enggak. Rumah, mobil dan tabungan insyaAllah masih aman. Untuk selanjutnya, aku akan fokus mengembangkan bisnis yang aku rintis bersama teman-teman. Aku janji, aku akan berupaya sekeras mungkin agar kamu enggak harus ngerasain hidup susah."

Aku terdiam. Sebagian hatiku terluka mendengar kalimat terakhirnya. Sebagian lagi malu ... Duh, kenapa juga aku ngomong gitu?

Wajah Mas Rega, aku perhatikan lekat. Cuma dalam waktu singkat dia keliatan kacau banget. Matanya sayu. Ada lingkar hitam juga di bawahnya.

Rasa sesal karena sempat berteriak di depannya menyeruak. Membayangkan dia keluar kantor sambil bawa kardus berisi barang-barang, lalu menoleh ke arah gedung dengan raut enggak rela---kaya di adegan sinetron---,bikin dada bergelenyar nelangsa. Belum lagi begitu pulang, aku malah marah-marah, alih-alih memberi pelukan penenang. Padahal keadaanya lagi enggak baik-baik aja.

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang