20. Selamat Tinggal Masa Lalu

264 25 12
                                    

***

Karena begitu pola itu menyentuh wajah Eleanor. Spontan gadis itu menjerit dan menutupi matanya. "Ah! Ah! Ini sakit sekali. Hentikan!" jerit Eleanor yang tanpa sadar mengucapkannya dalam Bahasa Beril.

Odet yang ada di sana langsung mendatangi Eleanor dan menanyakan keadaannya. Namun, ia tidak bisa melihat dengan jelas karena mata Eleanor telah sepenuhnya tertutup dengan cucuran air mata merembes keluar dari sana.

Odet sangat panik, sementara Daniel hanya bisa terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka mantra sepele seperti ini tidak bisa bekerja pada gadis kecil ini. Ini adalah pengalaman pertama baginya. Meski ia tidak pernah mencoba mantranya pada anggota kerajaan, tapi ia yakin tidak ada penolakan, tapi kenapa mana sihirnya tertolak pada gadis ini? Ini adalah mantra sederhana yang bisa dilakukan siapa saja.

"Tubuh gadis ini menolak mana penyembuhan, menolak mana pengubah rambut, dan sekarang menolak mana pengubah warna pupil," jelas Odet sembari mengecek keadaan Eleanor. "Ini buruk. Ini sungguh buruk. Ruby, buka matamu!"

"Ah, itu perih," rengek Ele.

"Oke. Pelan-pelan saja."

Daniel hanya bisa melongo. Ia tak bisa berkata-kata. Mantra biasa itu ternyata bisa melukai. Astaga! Aduh, apa yang harus ia katakan pada ayah dan ibunya?

"Tuan Daniel, tolong jaga Nona Ruby sebentar. Aku harus memanggil Tuan Evan dan Marchioness untuk memberi pertolongan pertama," ucap Odet.

"Biar aku saja yang memanggil mereka," ucap Daniel. Tanpa menunggu persetujuan, ia pun keluar dari ruangan.

Odet lantas kembali fokus pada Ruby. "Nona, berbaringlah terlebih dahulu. Tuan Daniel sedang memanggilkan healer."

Eleanor menurut. Matanya terasa perih dan sakit. Air mata tak henti bercucuran di ujung matanya. Rasanya seperti tertusuk sesuatu yang tajam dan menyakitkan. Untuk membuka mata pun rasanya tidak sanggup saking perihnya.

Tak berapa lama pintu terbuka dan suara banyak langkah kaki masuk ke ruangan. Suara Marchioness langsung terdengar.

"Apa yang terjadi pada Ruby? Apa yang terjadi padanya?" tanya Marchioness. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung menghambur didekat Ruby. "Bagaimana kondisimu, Ruby? Apa itu sakit sekali? Biarkan aku melihatnya. Oh, kamu tidak bisa membuka matamu?"

"Evan, apa yang harus kita lakukan untuk mengobatinya?"

Pemilik nama Evan itu pun menjawab, "Jika mana pengobatan tidak bekerja bagaimana dengan ramuan? Apakah ramuan juga tidak bekerja padanya?"

"Tidak! ramuan bekerja padanya!" jawab Marchioness. "Tolong persiapkan itu, Evan.

Sejurus kemudian, suara pintu kembali terbuka dan tertutup menandakan Evan si healer telah keluar dari ruangan. Menilik dari suaranya, Eleanor menduga, pemilik nama Evan adalah pria berambut panjang pirang yang semalam.

"Kurasa aku tidak bisa menghadiri acara makan malam bersama. Entah angin apa yang membuat para bangsawan pengikut langsung mendatangi kita tepat keesokan harinya? Aku curiga ada mata-mata di Langdon Hall," gerutu Marchioness.

"Anda harus hadir di sana, Marchioness," ujar Eleanor. "Aku akan baik-baik saja bersama, Tuan Evan."

"Ruby benar, Ibu. Keberadaan ibu sangat penting meski hanya muncul sebentar."

Marchioness mendengus. "Niat kami ingin memperkenalkanmu mungkin terlalu terburu-buru. Maafkan kami, Ruby. Dan jangan panggil aku Marchioness, panggil aku ibu. Kami semua setuju untuk melindungimu terlepas dari apapun hasil dari alkimia itu."

Bibir Ruby membuka dan dengan nada bergetar, ia berujar. "Benarkah itu, Marchioness?"

"Panggil aku, Ibu, Ruby," sela Marchioness. "Dan iya, semua itu benar!"

Elanor masih terdiam. Dalam kegelapan, ia kebingungan. Sekali ia menerima ini, maka ia harus siap melepaskan masa lalu selamanya.

Marchioness melanjutkan penjelasannya. "Kami juga sepakat dan mengahdiahimu nama baru, Middlemist Ruby Langdon. Nama yang berarti bunga kamelia merah. Bunga itu langka dan indah. Sangat menggambarkan dirimu. Bagaimana, apa kamu suka?"

Ada keraguan sejenak menghinggapi, tapi itu tidak lama, karena detik berikutnya, Eleanor membuka matanya dan berujar. "Ya, aku menyukainya. Aku sangat suka nama itu, Ibu."

Semua yang ada di sana terkesiap. Bukan hanya karena Ruby memanggil Marchioness dengan sebutan ibu untuk pertama kali, tapi lebih kepada betapa merahnya sisi putih mata Ruby.

"Ya, Tuhan!" seru Marchioness. "Tutup kembali matamu. Itu tampaknya seperti iritasi. Itu pasti menyakitkan. Andai mana yang ibu punya berguna untukmu, aku tidak akan membiarkanmu kesakitan seperti ini."

"Tidak apa ... aku sungguh tidak apa-apa," ujar Eleanor. Sekarang matanya telah kembali tertutup. Dari luar ia terlihat baik-baik saja, tetapi air mata yang mengalir dari sudut matanya nyatanya menyentuh hati banyak orang. Tidak ada yang tahu, apakah itu air mata suka cita atau malah sebaliknya, tapi yang pasti semua orang telah sepakat agar tidak membiarkan air mata kembali mengalir di pipi anggota keluarga baru mereka.

Marchioness tidak langsung menenangkan putrinya, karena terkadang air mata adalah obat terbaik untuk sembuh. Justru marquise dan Daniel lah yang turun tangan.

"Jadi, sekarang aku punya adik, Eh?" gurau Daniel.

"Ya, dan aku punya seorang putri," sahut Marquise. "Mari kita piknik bersama saat Ruby sudah sembuh."

"Ya, mari melakukannya, Sayang," timpal Marchioness. "Bagaimana, Ruby ... apa kamu mau melakukannya bersama kami?" tanya Marchioness seraya mengusap puncak kepala putri barunya.

Eleanor tersentuh mendengarnya. Ia tak tahu harus berkata apa karena telah diterima dalam keluarga ini di saat ia harusnya sendirian. Ia punya ayah dan ibu bahkan kakak yang sangat tampan. Tak kuasa menahan tangis haru, Eleanor mengangguk. "Ya, Ruby mau melakukannya," ucap Eleanor dengan terbata.

Terakhir, Eleanor benar-benar tidak bisa lagi membendung air matanya karena mulai detik ini, ia harus menghapus semua hal tentang Eleanor dari dirinya. Amat menyedihkan karena Eleanor yang tersemat padanya selama 15 tahun bukanlah miliknya melainkan milik putri yang lain. Jika harus jujur, mungkin nama yang diberikan Marchioness adalah nama pertamanya. Middlemist Ruby Langdon. "Terima kasih, Ibu, Ayah, dan Kakak," ucap Ruby di sela isak tangisnya.

"Kami juga berterima kasih," ucap Marchioness.

Sesuatu yang berat terasa di sisi kasur dan sebuah tangan lain mengusap kepalanya. Tangan itu besar dan hangat. Berikutnya, suara Marquise terdengar. "Jangan pikirkan yang lain dan sembuhkan dirimu. Kamu sekarang putri kami. Kami ada bersamamu."

Daniel tak mau kalah. Ia meloncat di atas ranjang dan menggenggam tangan Eleanor. "Kamu tahu, tidak hanya seorang kakak lelaki, kamu juga akan punya kakak perempuan. Benar, 'kan, Ibu?"

"Ya, Daniel akan menikah dan itu artinya kamu juga akan punya kakak perempuan. Kedepannya, kamu juga akan menjadi tante saat Daniel punya anak. Jadi, bergembiralah. Kamu punya kami di sini."

"Terima kasih semuanya! Terima kasih!" ucap Eleanor. nada suaranya masih terasa bergetar, tapi anggukannya telah mantap sekarang. Tampaknya ini adalah akhir baginya untuk berdamai dengan dirinya. Membuang nama Eleanor dan identitasnya sebagai anggota Kerajaan Beril dan menerima nama barunya Middlemist Ruby Langdon dan statusnya sebagai putri bungsu Keluarga Langdon. Ia tidak tahu apa jalan yang diambilnya akan membawa nasib baik untuknya, tapi satu hal yang ia tahu pasti bahwa saat ini, pilihan inilah yang terbaik untuknya.

Selamat tinggal masa lalu ...

***

DUKE WILLBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang