26. Tangisan Yang Tak Berhenti

17 2 0
                                    

***

"Aku baik, Ayah."

"Katakan padaku jika kamu membutuhkan sesuatu."

"Ya, aku akan melakukannya. Terima kasih."

Hening sejenak saat mereka melewati bagian taman yang penuh dengan tanaman berbunga putih yang berbau harum. Sesuatu yang belum pernah dilihat Ruby di Beril.

Saat kepala Ruby berisi rasa penasaran akan bunga, pikiran Marquise Langdon rupanya mengarah ke hal lain. Mulutnya sedikit terbuka lalu tertutup. Ragu-ragu untuk mengutarakannya. Untungnya Ruby menyadarinya jadi ia memberanikan diri untuk bertanya.

"Jika ada yang ingin Anda tanyakan, tolong tanyakan saja. Sebisa mungkin aku akan menjawabnya," ucap Ruby.

Marquise Langdon sedikit tersentak. Rupanya Ruby diam-diam mengamatinya. Ia pun menghela napas panjang. Masih tetap dengan keraguannya.

Ruby kembali meyakinkan Marquise Langdon. "Hanya ada kita berdua di sini. Jadi, tanyakan saja apa yang ingin ditanyakan. Belum tentu kesempatan seperti ini terjadi lagi di masa depan."

Marquise Langdon hanya bisa menggaruk kepalanya. Ia bimbang. Jujur saja, tawaran Ruby sangat menggiurkan.

Ruby memberi isyarat pada Marquise Langdon saat melihat gazebo di tengah taman. Ia meminta Marquise Langdon berhenti sejenak di sana untuk membahas apa yang mengganjal di hati Marquise Langdon.

Ruby tidak ingin lari dari masalah ini seperti ia lari kakaknya. Jujur masih ada penyesalan terbersit di hati Ruby mengenai hal yang menyangkut Jason. Dalam kesendiriannya di kastil Langdon, ia sering berandai-andai. Apakah ada yang berubah jika ia bertanya pada kakaknya kenapa tidak memilihnya.

Yah, itu semua sudah masa lalu, batinnya. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana caranya agar Marquise Langdon bisa terbuka padanya dan membiarkannya tetap di sini sampai ia bisa berdikari.

"Sekarang coba katakan padaku apa yang mengganjal di hati Ayah," ujar Ruby.

Suaranya terdengar sangat tenang yang mana membuat Marquise Langdon semakin merasa bersalah dengan pertanyaan yang hendak ditanyakannya. Pertanyaan yang bahkan belum keluar dari bibirnya.

"Apakah ini soal alkimia?" tebak Ruby.

Marquise Langdon terkesiap. Tanpa sadar ia menahan napas lama sebelum akhirnya menghelanya dengan suara keras.

Ruby pun tersenyum simpul. Sekarang ia tahu apa yang menjadi ganjalan bagi ayahnya tersebut.

"Apakah Alkimia itu sungguh bisa menyembuhkan rahim Linda?" tanya Marquise Langdon dengan hati-hati. Ia tidak ingin menyakiti Ruby dengan pertanyaannya padahal ia sudah berjanji pada istrinya untuk menganggap Ruby sebagai anak mereka sendiri.

Ruby mengangguk sembari berujar, "Ya, alkimia bisa menyembuhkannya."

"Maksudku, apakah kamu sungguh bisa melakukan alkimia itu dan menyembuhkan Linda?"

Hening. Hanya semilir angin yang terdengar. Bahkan hewan malam tampaknya berhenti bersuara sejenak oleh perasaan yang menegangkan itu.

Marquese Langdon meneruskan kekhawatirannya. Kali ini suaranya parau seolah hendak menangis.

"Aku tidak ingin Linda kecewa karena meninggikan harapannya pada metode ini. Tolong katakan padaku jika kamu tidak sungguh-sungguh bisa menyembuhkannya dan hanya mengatakannya agar kamu diizinkan tinggal. Tolong katakan padaku yang sebenarnya, sehingga aku bisa memberitahu istriku untuk tidak terlalu berharap pada ini. Aku tidak ingin melihatnya kecewa. Aku sungguh tidak bisa."

Semilir angin malam berhembus dingin. Mengiring suara sendu Marquise Langdon.

Ruby menunduk. Tangannya meremas ujung selimut yang dikenakannya. Ia tidak ingin berbohong. Tapi, kenyataan memang tidak semudah itu untuk diucapkan.

"Jujur saja aku tidak bisa memastikan keberhasilannya."

Marquise Langdon mencelos. Ia sudah tahu ini. Gadis ini hanya membual.

"Tapi, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya berhasil."

"Bagaimana caranya?" desak Marquise Langdon. "Katamu ini tidak akan berhasil."

"Seumur hidupku yang adalah seorang putri, aku telah ikut serta melakukan ritual ini sejak usia 5 tahun. Aku telah dibimbing dari muda agar suatu saat bisa memimpin ritual ini saat aku dewasa. Karena kemajuan belajarku sangat pesat, posisiku di ritual itu semakin inti. Jadi, saat usiaku 15 tahun, aku telah menjadi pemimpin ritual dengan pendeta agung sebagai asistennya. Puji Tuhan, ritual itu berhasil. "

"Itu karena asistenmu adalah pendeta agung," sahut Marquise Langdon.

Ruby langsung menatap Marquise Langdon karena nada sarkasmenya itu. Ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Marquise Langdon, karena memang benar usianya masih terlalu muda untuk menjadi pemimpin ritual. Ini pun terjadi saat ia pertama kali ditunjuk. Seluruh negara bahkan ikut skeptis pada kemampuannya.

"Aku tidak ingin memuji diriku, tapi aku sungguh mengerjakan semuanya sendirian. Aku menggambar pola ritualnya sendiri, aku mengurus semua persyaratannya sendiri dan memastikan semua barang yang digunakan benar-benar berkualitas. Asisten dan para pendeta yang lain hanya membantuku dengan tambahan mana karena ritual itu membutuhkan mana yang bisar. Dan itu tidak mungkin kumiliki karena manaku yang terbatas. Maksudku usiaku baru 15, sebanyak apapun mana yang kumiliki, tidak sebanyak saat aku dewasa," ujar Ruby menggebu-gebu. Ia sampai menaikkan nada suaranya beberapa oktaf demi meyakinkan Marquise Langdon.

Matanya melirik ke arah Marquise Langdon untuk melihat reaksinya. Dan saat ia melihat ekspresi Marquise Langdon yang terkejut, ia langsung tahu bahwa ucapannya berlebihan.

Malu telah berbicara dengan keras dan tidak sopan. Ia pun mengakhirinya dengan lirih, "maksudku aku bahkan belum mencapai usia kedewasaan."

Marquise Langdon hanya bisa menghela napas panjang. Harusnya ia ikut memikirkan anak ini. Sudah jelas anak ini begitu putus asa malah ia menekannya. Tapi, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Bagaimanapun juga, rasa cintanya pada istrinya memang lebih besar dari apa pun sehingga ia tidak ingin perasaan istrinya tersakiti.

"Kamu yakin tidak ada efek sampingnya?" tanya Marquise Langdon. Pertanyaan ini sudah pernah ditanyakan, tapi ia ingin menanyakannya lagi untuk lebih menyakinkan diri.

"Tidak ada. Selama 10 tahun aku berkecimpung di sana, tidak ada yang pernah gagal. Semuanya berhasil."

"Bagaimana cara kalian menentukan pasien agar bisa dipilih?"

"Firman Tuhan akan turun dan kami akan mencarinya seperti yang difirmankan. Begitulah kami menemukan siapa yang harus kami bantu."

"Itu artinya Tuhan sangat berperan di sana."

"Tentu! Kami hanya melakukan alkemia untuk urusan keagamaan."

"Lalu istriku bagaimana? Dia bukanlah orang yang masuk dalam firman itu, jadi bukankah peluang keberhasilannya akan turun karena tidak ada campur tangan dari Tuhan?"

Deg!

Ruby tersentak. Ia termakan ucapannya sendiri. Namun, ia tidak bisa berbohong demi menutupi kesalahan ucapannya. Ia percaya satu kebohongan akan membawa kebohongan yang lain dan ia tidak menghendaki itu terjadi.

"Aku tidak tahu," jawab Ruby jujur. "Aku bisa melakukannya sesuai prosedur, aku bisa menjamin tidak ada kesalahan, tetapi jika keberhasilannya memang ditentukan oleh Tuhan, aku tidak bisa berbuat banyak. Aku minta maaf karena telah meninggikan harapan Marchioness Langdon, tapi setidaknya berikan aku kesempatan untuk mencobanya. Jika ini disebabkan oleh kekurangan mana-ku, maka kita bisa mencobanya saat aku dewasa. Jika ini belum sempurna karena urusan ketuhanan maka aku akan merayu Marchioness Langdon untuk pindah pada kepercayaanku. Jika itu tidak berhasil karena kesalahanku ... maka aku akan bertanggungjawab sepenuhnya. Jadi, aku mohon dengan sangat berilah satu kesempatan saja dan aku akan berusaha semaksimal mungkin. Aku akan melakukannya aku ...."

*** 

DUKE WILLBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang