23. Pencarian

15 2 0
                                    

*** 

Pria muda itu bernama Zachary. Putra tunggal dan penerus Keluarga Willbar yang agung. Satu dari 4 pilar Kerajaan Delphinium. Pria yang tampan dan berbakat. Ia tumbuh besar dengan penuh kasing sayang. Berbalut kekayaan, reputasi, kemakmuran. Sangat sempurna dan nyaris tanpa cela.

Namun, tidak akan ada yang menyangka jika sekarang ia tengah sendirian di tengah malam dengan satu api unggun kecil di hadapannya. Wajahnya terlihat sangat lelah. Jika bukan karena harus mengisi kembali kapasitas mana dalam tubuhnya, maka ia tidak akan duduk diam seperti orang bodoh sendirian.

Axio yang saat ini menampakkan wujudnya serupa dengan gagak bermata ungu itu bertengger di pohon tidak jauh dari majikannya. Matanya tampak berpendar di tengah pekatnya malam.

Suasana tampak hening. Makhluk-makhluk hutan yang biasa beraktifitas di malam hari tak satupun menampakkan batang hidungnya. Agaknya mereka sudah lebih dahulu menjauh karena aura yang menguar di sekitar Zachary terlalu menakutkan. Bahkan naluri kehewanan mereka harus mengakui itu tanpa sempat mencoba untuk menantangnya.

Satu fragmen kecil mana tampak sibuk membolak balik daging buruan untuk makan malam Zachary. Setelah dirasa cukup tingkat kematangannya, fargmen mana itu berhenti membalikkan daging itu dan menepikannya agak tetap hangat saat disantap.

Perlahan, gagak itu terbang rendah dan berubah menjadi sosok manusia. Axio menjelma menjadi manusia dengan bentuk dan wajah yang sama seperti Zachary. Serupa bagai pinang dibelah dua.

Axio lantas mengulurkan daging itu pada Zachary.

"Kamu tahu, aku tidak berselera makan," gumam Zachary. Pantulan wajahnya tampak sendu.

Di sisi lain, Axio, dengan wajah yang sama namun nyaris tanpa ekspresi, tetap mengulurkan daging itu.

"Bagaimana aku bisa makan jika aku tidak tahu bagaimana kabarnya."

Axio mengangguk mengerti dan meletakkan daging bakar tersebut kembali ke sisi perapian. Setelah itu ia kembali ke tempat Zachary dan duduk di depannya. Tangannya yang dingin menyentuh Zachary dan melingkupinya. Seolah ingin menyalurkan kehangatan, meski nyatanya ia tidak bisa melakukan itu karena suhu tubuhnya sama seperti suhu di sekitarnya.

"Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?" ujar Zachary lirih. "Aku akan menyalahkan diriku sendiri karena menyerang negaranya dan membuatnya sampai seperti ini."

Axio membisikkan pesan bahwa ia percaya Eleanor akan baik-baik saja.

"Aku ingin percaya bahwa dia baik-baik saja, tapi hatiku mengatakan sebaliknya. Aku takut sekali. Bagaimana jika aku kehilangannya? Bagaimana?"

Zachary tidak kuasa menangis. Pria penuh percaya diri itu sekarang tampak menyedihkan hanya demi seseorang yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Pertemuan mereka tak hanya singkat, tapi juga jauh dari kata normal.

Namun, perasaan hati Zachary mengatakan bahwa Eleanor adalah satu-satunya dan ia tidak bisa kehilangannya. Ia merasa ia tidak akan bisa hidup jika buka dengan gadis ini.

Zachary tidak bisa menjelaskan ini karena baru sekali dalam hidupnya ia mengalami ini. Ini yang pertama kali dan rasanya amat menyesakkan. Seolah dadanya terhimpit sesuatu hingga membuatnya kesusahan bernapas.

Zachary tidak berharap penghiburan dari Axio karena keberadaannya sudah lebih dari cukup untuknya. Ia hanya ingin didengar keluh kesahnya. Ia sama sekali tidak keberatan meski yang mendengarnya adalah hanyalah Axioo. Karena bagaimanapun juga, Axioo adalah makhluk yang sudah menemaninya sejak di kandungan. Mereka berdua nyaris seperti potongan puzzle yang saling melengkapi.

Axio bisa merasakan apa yang Zachary rasakan. Tidak—lebih tepatnya mereka berdua bisa saling merasakan. Meski tanpa kata terucap, Zachary selalu tahu jika Axio akan selalu ada untuknya. Itulah yang ia percayai, hingga sebuah suara asing bergumam di dekatnya.

"Tenanglah, Zachary! aku akan menemukannya untukmu."

Tangis Zachary langsung terhenti. Tidak ada orang lain selain dia. Jadi suara yang barusan .... Jangan bilang ....

Zachary langsung menengadah. Menatap satu-satunya orang yang memungkinkan untuk berbicara meski seumur hidup ia tidak pernah mendengarnya mengucapkan satu patah kata.

Bibir Zachary terbuka lalu menutup kembali. Sepertinya ia ragu. Mungkin itu hanya suara Axio yang disampaikan lewat benaknya yang ia sangka terucap dari bibirnya. Pasti ia hanya salah dengar.

Namun, Axio, masih dengan wajah Zachary dengan mimik datar kembali berucap.

"Aku akan menemukan gadis itu untukmu. Aku janji!"

Sekarang bibir Zachary benar-benar ternganga. Meski melihatnya dengan mata kepala, ia masih tidak bisa percaya bahwa Axio benar-benar bicara. Seumur hidup mengenal Axioo, ia tidak pernah mendengarkan suaranya kecualinya lewat bisikan.

"Kamu tidak pernah mengatakan apa pun selama ini. Kupikir kamu tidak bisa bicara."

Axio hanya mengangkat bahu. Tak ingin menjawab.

Zachary mendesak. Ia masih penasaran. Tapi, Axio tampaknya enggan menurutinya. Malahan kembali ke wujud burung gagak. Merentangkan sayap lebar-lebar dan melesat kembali ke dahan. Tempat sebelumnya ia berada.

Zachary hanya memandangnya dengan tawa. Ya, ia tertawa. Betapa Axio sampai harus menyeruapai manusia dan berbicara layaknya manusia hanya untuk menghiburnya.

"Ya—ya! aku percaya padamu, Axio! Terima kasih."

Agaknya semangat Zachary telah kembali. Tangannya lantas menjangkau daging bakar yang telah dibakar oleh Axio dan mulai makan. Ia harus makan dengan benar, beristirahat dan terus berpikir positif. Itu adalah jalan tersingkat untuk mengembalikan mana tubuhnya.

"Masakanmu selalu enak," puji Zachary setelah makan satu gigitan. Tatapannya mengarah ke arah Axio, tapi makhluk itu hanya melihatnya sekilas sebelum kembali terpekur dalam diam.

Zachary tidak mengganggunya. Karena keheningan ini sudah biasa bagi mereka. Hening yang menenangkan. Begitulah hubungan mereka selama ini.

***

Matahari muncul lebih lambat saat berada di hutan karena rindangnya daun akan menghalangi sinarnya. Kendati demikian, Zachary telah bersiap bahkan sebelum matahari terbit.

Pria itu memulai paginya dengan membersihkan diri di mata air tak jauh dari tempatnya bermalam.

Axio juga tidak tinggal diam. Ia bahkan sudah menyiapkan berbagai macam buah hutan untuk sarapan.

Tidak ingin membuat khawatir, Zachary memakan beberapa sebelum mulai pekerjaannya. Ada beberapa jenis berry liar dan pisang. Menemukan pisang siap makan di hutan adalah hal yang jarang. Karena pisang membutuhkan waktu untuk matang di pohon. Tapi, ia tidak hendak bertanya bagaimana Axio mendapatkannya.

Zachary makan dengan cepat seolah tidak ingin menghabiskan banyak waktu untuk sekadar persiapan. Menurutnya lebih cepat bekerja lebih baik.

Ritual yang dilakukan Zachary sama seperti kemarin. Menyebar fragmen kecil mana dan berkonsentrasi menyusuri topografi yang dilewati. Harapannya menemukan jejak mana yang tertinggal.

Sayangnya, sampai hari telah siang, Zachary belum menemukan sesuatu yang berarti. Namun, ia tidak menyerah. Terlebih di separuh bagian lain yang belum ditelusurinya terdapat tempat peribadatan yang mungkin saja menjadi titik koordinat yang digunakan Eleanor.

Zachary kembali berkonsentrasi. Kali ini ia tidak menyusuri jalan seperti biasa melainkan langsung ke area peribadatan. Ia ingin mempercayai ucapan Jason. Siapa tahu ucapan itu benar dan ia akan menemukannya. Lebih cepat ia menemukannya maka itu lebih baik.

Jantung Zachary berdebar-debar. Ada perasaan cemas saat ia mulai menyebarkan fragmen mana itu. Ada rasa was-was jika ia kurang berkonsentrasi dan melewatkan petunjuk.

Namun, Zachary rupanya lebih bertalenta dari yang ia pikir. Jantungnya seolah terhenti saat satu fragmen itu memberi sinyal bahwa ada jejak mana dari sebuah mantra yang tertinggal. 

*** 

DUKE WILLBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang