27. Emosi yang Tertahan

23 2 0
                                    

***

Ruby tidak bisa meneruskan ucapannya karena air matanya telah tumpah ruah menetes di pipinya. Tubuh kecilnya berguncang hebat. Jelas terlihat bahwa gadis itu sangat putus asa. Jika diibaratkan orang hanyut di sungai maka kesempatan ini bagai sebongkah kayu penyelamat yang tampanya, ia akan tenggelam ke dasar.

Sekeras-kerasnya sikap Marquise Langdon, rupanya ada sisi lembut dalam dirinya. Ia pun mendekat dan berjongkok di depan Ruby. Ia pun memeluknya dan meminta maaf.

"Maafkan, Ayah, ya! sejenak ayah lupa bahwa ayah telah memberimu janji bahwa meski kamu tidak melakukan alkemia itu, kamu akan tetap diterima. Maafkan ayah karena membuatmu seputus asa ini. Ayah minta maaf."

Ruby melepas pelukan Marquise Langdon. Masih dengan air mata yang bercucuran di pipi, ia pun berujar, "aku tetap akan mencobanya. Izinkan aku mencobanya. Demi ibu dan demi ayah. Aku akan melakukannya. Aku akan melakukannya dengan sebaik mungkin. Aku ... hiks!"

Marquise Langdon hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Harusnya ia tidak membahas itu sekarang. Paling tidak bukan di situasi seperti ini. Ruby bahkan belum sembuh.

"Tolong jangan menangis lagi. Matamu masih sakit. Bagaimana jika itu menjadi lebih sakit? ayah minta maaf karena berkata seperti itu. Ayah minta maaf."

Ruby hanya menggeleng. Ia amat terguncang. Ia sadar harusnya ia tidak menangis, tetapi semua emosi dalam tubuhnya tumpah menjadi satu dan sulit untuk dikendalikan.

Tubuhnya masih terasa lelah karena mana yang belum sempurna, ditambah beban mental yang ditahannya selama ini meledak bersamaan. Semua itu membuat air mata Ruby sangat sulit untuk dihentikan.

Marquise Langdon tidak bisa lagi menenangkan air mata itu jadi dia pun membopong Ruby dalam pangkuannya, menyelimutinya dan dengan lembut memeluknya.

"Ayah tahu, banyak yang kamu tahan dan tidak bisa kamu ungkapkan. Jika dengan menangis kamu menjadi lebih baik maka menangislah. Ayah akan di sini bersamamu," ucap Marquise Langdon lembut.

Seperti bendungan yang dibuka paksa, begitu pula dengan tangisan Ruby. Air matanya mengalir deras seolah tidak akan berhenti. Apalagi saat ada kehangatan yang melingkupinya. Membuatnya ingin menumpahkan semuanya. Pelukan itu membuatnya ingin berlindung di baliknya dan mencurahkan semua.

Marquise Langdon dengan tubuhnya yang luar biasa besar, melingkupi tubuh Ruby. Ia bisa merasakan bagaimana tubuh ringkih itu bergeliat di pelukannya. Membuatnya semakin menyesali diri. Ia pun berandai-andai, bagaimana jadinya jika ia tidak berkata-kata seperti tadi. Pasti semua akan baik-baik saja.

Tangisan itu berlangsung cukup lama. Awalnya, tangisan itu sangat kencang, tapi lama-kelamaan tangisan itu berangsur melemah dan tidak terdengar sama sekali.

Rupanya Ruby telah tertidur dalam pangkuan Marquise Langdon. Ia pasti kecapekan karena menangis hingga tanpa sadar tertidur. Mengetahui putrinya yang telah tertidur, Marquise Langdon pun berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.

Saat ia berjalan perlahan ke arah Langdon Hall, mendadak ia sadar bahwa lampu-lampu kastil telah menyala. Suara keributan samar-samar terdengar. Ia pun bergegas menuju ke sana untuk melihat apa gerangan yang terjadi.

Semua orang berkumpul di lantai bawah dan bergumam cemas.

"Apa yang terjadi?" tanya Marquise Langdon tiba-tiba.

Orang-orang yang tidak menyadari Marquise Langdon datang pun terkejut.

Marchioness Langdon langsung menyambut suaminya.

"Sayang, bagaimana ini. Ruby hi ...."

Ucapan Marchioness berhenti di tengah-tengah begitu ia menyadari ada seseorang tengah terkulai di lengan suaminya.

DUKE WILLBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang