24. Titik koordinat Pertama

14 3 0
                                    

***

Dengan cepat, pria itu berpindah tempat ke tempat yang disebut oleh fragmen tersebut.

Semua fragmen mendadak berkumpul di satu tempat. Menggupal membentuk kabut mana yang pekat. Tubuh Zachary muncul perlahan di balik kabut mana tersebut. Saat ia membuka mata, ia telah berada di halaman sebuah gereja. Persis di bawah naungan pohon ceri yang tengah berbunga.

Zachary langsung tahu jika ia berada di tempat yang tepat karena mana yang tertinggal masih cukup kuat. Bahkan samar-samar ia bisa memvisualisasikan bagaimana Eleanor saat tiba di sana. Rona kelegaan langsung terpancar di wajahnya. Jujur, mungkin ini adalah senyum pertamanya sejak kehilangan Eleanor.

Axio menatap diam dari atas dahan ceri. Lewat bentuk burung gagaknya, ia mengangguk-angguk sebagai tanda bahwa ia juga senang semua berjalan lancar.

Hari telah beranjak sore saat Zachary tiba di sana. Ia duduk terpekur di sana dan mulai menyusun strategi berikutnya.

Sekarang satu fakta telah terungkap. Jason ternyata mengatakan yang sesungguhnya terlepas dari betapa Jason tidak menyukai Zachary. Mungkin rasa sayangnya pada Eleanor lebih tinggi hingga ia mau saja meminta bantuan musuh dan bahkan dengan senang hati memberi banyak informasi.

Yang harus dilakukan Zachary sekarang adalah mencari landscape seperti yang disebutkan dan hanya mencari di daerah-daerah tersebut saja. Andai itu betul, maka ia bisa menemukan Eleanor berkali-kali lipat lebih cepat dari hitungannya di awal. Pun jika informasi itu salah, ia hanya perlu menyisir sesuai dengan strategi awal. Karena akan selalu ada cara jika ia berusaha.

Zachary begitu larut dalam pikirannya hingga tanpa sadar sore telah menghilang. Malam mulai turun dengan cepat tanpa ia sempat menikmati keindahannya. Karena bagi Zachary. Keindahan itu tidak ada artinya karena baginya perjumpaan dengan Eleanor adalah keindahan yang sesungguhnya.

Zachary segera bangkit dari duduknya. Mengibas-ngibaskan jubahnya agar kotoran dan debu yang menempel di jubahnya bisa lepas. Malam ini, ia memutuskan untuk beristirahat. Ia telah melalui hari yang cukup berat. Sepertinya segelas bir bisa meringankan harinya.

Karena telah berada di pemukiman, Zachary berniat bermalam di penginapan. Namun, keinginannya berubah saat tidak sengaja mendengar suara sayup-sayup sebuah kidung lembut yang indah. Ia berdiam sejenak untuk mendengarkan. Suaranya terdengar lebih jelas saat ia berkonsentrasi. Ternyata itu adalah suara anak-anak menyanyikan pujian di gereja tidak jauh dari tempatnya berada. Entah atas dasar apa, Zachary tampaknya tergerak untuk menghabiskan malam di gereja saja.

Zachary berjalan perlahan menuju pintu utama gereja. Ada keraguan sejenak karena tidak pernah datang ke gereja di luar jam buka, tapi ia memantapkan diri dan mulai mengetuk pintu. Awalnya ketukan itu tenggelam oleh suara anak-anak, tapi ketukan berikutnya berhasil mencuri perhatian.

Seketika ruangan menjadi hening. Suara sister terdengar dari dalam menyuruh anak-anak melanjutkan nyanyiannya sementara ia menyelinap ke arah pintu dan mencari tahu siapa di balik pintu tanpa mengganggu kegiatan yang sedang berlangsung.

Pintu besar itu terbuka dengan derit keras. Suara yang berasal dari gesekan pintu yang miring dengan lantai.

Zachary mengantisipasi orang yang menyambutnya dengan mundur beberapa langkah ke belakang. Ia cukup sadar diri, postur tubuhnya yang menjulang dan penampilan yang tidak biasa akan menakuti siapapun yang akan keluar dari sana nanti.

Seorang wanita seumuran ibunya membuka pintu. Ada raut terkejut tergambar di wajah wanita berpakaian hitam putih itu, tapi dengan cepat ia mengendalikan diri.

Zachary cukup pengertian dengan menundukkan tubuhnya dan memberi salam terlebih dahulu. Sesuatu yang hampir tidak pernah ia lakukan karena posisinya sebagai bangsawan tinggi.

"Ya, selamat malam. Ada yang bisa kami bantu?"

"Aku membutuhkan tempat untuk bermalam. Izinkan aku untuk tidur di sini barang semalam saja."

"Bermalam bagaimana maksudnya?" sister itu tampak kebingungan dengan permintaan yang begitu tiba-tiba. Gereja bukanlah tempat menginap, bukankah begitu?

Sister itu lantas memandang Zachary dari atas ke bawah. Sekali lihat saja, ia bisa tahu bahwa Zachary bukanlah orang dari kalangan biasa. Rasanya aneh, kenapa orang yang seperti itu sampai harus tidur di gereja. Tapi pertanyaannya, apakah gereja mereka mampu menampung orang seperti Zachary? untuk sehari-hari saja mereka harus mencukupkan diri.

Namun, masalahnya sekarang. Bagaimana ia bisa menolak permintaan ini tanpa menyinggungnya?

"Uhm, bukan kami tidak berkenan, akan tetapi tempat kami tidak layak untuk orang semulia anda, Tuan."

"Aku tidak keberatan dengan apa pun yang tersedia di sini. Aku juga tidak keberatan untuk membayar. Aku tidak masalah asal mendapatkan tempat untuk istirahat malam ini."

Sister itu menggeleng lemah. Raut mukanya penuh kekhawatiran. Menolak segan, menerima pun enggan. Seolah memakan buah simalakama.

Tak ingin mendapat penolakan, Zachary segera mengangsurkan sekeping koin emas kepada sister tersebut.

"Terimalah!" ujar Zachary memaksanya. Suaranya tegas penuh tuntutan. Mau tak mau sister itu pun mengulurkan tangan untuk menerimanya.

Dalam keremangan kondisi di malam hari, sister itu tidak menyadari koin apa yang ada di tangannya, tapi begitu ia mendekatkan ke wajahnya, ia terkejut bukan kepalang. Kilauan emas yang berkilat sukses membuatnya gemetar.

Sister tersebut langsung menutup mulutnya dengan satu tangannya yang lain. "Astaga! Ini sungguh koin emas. Aku tidak bisa menerima ini. Ini terlalu banyak."

"Terimalah. Aku tahu kamu tidak akan menghabiskannya untuk dirimu sendiri," ucap Zachary. "Anak-anak membutuhkan banyak makanan. Mereka juga membutuhkan baju yang layak. Gunakan itu untuk keperluan mereka."

Sister itu mengangguk kuat-kuat. Tawaran pria asing ini sangat susah untuk ditolak. Terlebih hanya dengan memegang koinnya saja, ia bisa membayangkan binar wajah mereka saat memakan roti hangat dan baju baru yang bersih. Meski ia akan dicap tidak tahu malu karena menerima imbalan untuk sebuah penginapan semalam yang jauh dari kata layak, tapi untuk sekali ini saja, ia akan berpura-pura tidak peduli.

"Perkenalakan nama saya Nancy. Anak-anak memanggil saya dengan sebutan Sister Nancy. Mari ikut saya, Tuan. Saya akan mengantar anda ke kantor untuk menikmati segelas teh sementara saya akan menyiapkan kamar anda."

Zachary mengangguk. Itu sebelum suara anak-anak bercengkrama menarik perhatiannya. ­­­­­­­­­­­­Peri pohon ceri yang menangis, itu adalah sepenggal kalimat yang membuat Zachary terhenti dari langkahnya.

"Apa ada sesuatu yang mengganggu Anda?" tanya Sister Nancy. Ia penasaran dengan alasan kenapa Zachary berhenti mengikutinya.

Karena Zachary tidak menjawab, ia pun diam dan menunggu. Barulah ia sadar kalau Zachary ternyata mendengar celotehan anak-anak. Meski suara mereka terdengar sayup-sayup, tapi ia yang sudah mengetahui apa yang dibahas anak-anak hanya bisa tertawa.

"Apakah Anda tertarik dengan apa yang dibahas anak-anak?" tanya sister tersebut.

Zachary mengangguk.

"Saya akan menjelaskannya selama perjalanan menuju ruangan."

"Baiklah," jawab Zachary pendek.

Keduanya pun kembali melanjutkan langkah.

"Cerita itu berawal dari kemarin siang. Saat anak-anak sedang ada kegiatan siang di luar ruangan, mereka mendengar suara tangisan yang sangat keras dari arah pohon ceri di bukit tak jauh dari sini. Saat mereka mencari tahu asal muasalnya, mereka mendapati ada seorang anak perempuan berpakaian indah berambut merah yang sangat cantik tengah menangis dengan suara nyaring. Tangisannya begitu memilukan hingga kami yang ada di dalam ruangan ikut terenyuh mendengarnya. Namun, saat kami para orang dewasa mencoba mencari keberadaannya untuk menolong, secara misterius, anak perempuan itu menghilang."

*** 

DUKE WILLBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang