32. Petunjuk Lain

11 1 0
                                    

***

Zachary bertanya untuk menegaskan. Karena menurut pengamatannya tidak ada figur ayah dalam keluarga itu. Apa jangan-jangan ....

"Pasti Anda mengira pria tadi kakekku? Bukan ... beliau ayahku."

"Oh! Maaf!" gumam Zachary sekali lagi.

Zachary merasa ia telah mengecawakan anak ini untuk kedua kalinya karena pengamatannya yang kurang akurat. Pertama soal tinggi badan, sekarang soal ayah. Mungkin ia sudah terbiasa menjadi bangsawan jadi ia terbiasa menjadi kurang peka, tapi untuk kali ini, ia mengutuk ketidak-kepekaannya itu.

Namun, Hans, sekali lagi membuatnya terkejut. Alih-alih marah, ia hanya berujar ringan. "Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa saat orang-orang mengatakan jika ayahku lebih mirip seperti kakekku karena perbedaan usia kami. Aku baik-baik saja mengenai itu."

"Aku sungguh minta maaf! Maafkan aku," sahut Zachary. Ia merasa tidak enak.

"Tenanglah. Aku tidak apa-apa. Dulu aku sering mendengarnya saat masih tinggal di desa, tapi semenjak ibu sakit dan kami semua pindah ke sini, aku sudah tidak lagi mendengar kata itu. Karena sudah lama tidak mendengarnya, aku jadi sedikit terkejut, tapi aku sungguh tidak apa-apa. Aku tidak pernah merasa malu pada ayahku. Aku bangga padanya."

Zachary benar-benar mendapatkan pelajaran moral dari kejadian ini. Bahwa, akan selalu ada sisi lain di balik apa yang terlihat. Matamu bisa saja menipumu. Apa yang terlihat di matamu bisa mengaburkan penilaianmu akan esensi sebenarnya.

"Ya, kamu harus bangga padanya. Sekali lihat saja, aku tahu beliau orang yang sayang keluarga. Beliau orang yang sangat teliti dan cermat. Baru bertemu sebentar, tapi rasanya beliau sudah mengamatiku dengan cermat," aku Zachary.

Hans tidak sempat mengomentari ucapan Zachary karena saat itu mereka telah sampai di tempat yang dimaksud. Mereka sudah tiba di tepi danau.

Dilihat dari dekat, danau itu ternyata jauh lebih luas dari yang terlihat di ketinggian. Permukaan airnya tenang. Sangat jernih sehingga hanya dengan melihat saja, akan tampak apa yang ada di bawahnya. Namun, air jernih juga mengaburkan penilaian akan kedalamannya. Tampak di dasar ada beberapa kayu tenggelam dan beberapa tanaman bawah laut.

Tidak seperti yang terlihat, danau ini ternyata sangat dalam. Bahkan meski kamu melihat dasarnya, itu tidak berarti kamu bisa menjangkaunya jika kamu menyelaminya. Bahkan untuk menyentuh rerumputan di dasar, kamu harus menahan napas lebih lama dari yang kamu bayangkan.

Di tepi danau ada dermaga kecil terbuat dari kayu. Biasa dipergunakan untuk pijakan agar mudah mengambil air. Dermaga itu cukup layak, kendati kondisinya tidak terlalu bagus karena terbuat dari kayu-kayu yang tidak utuh.

"Kami biasa mengambil air di sini. Anda bisa mandi di sini. Nikmatilah sesuka hati Anda. Jika Anda bisa berenang, akan lebih baik untuk berenang. Airnya cukup hangat meski malam hari."

"Baiklah, terima kasih Hans karena sudah mengantarku. Aku bisa berenang, jadi aku akan mandi dengan nyaman di sini."

Zachary terlihat mulai bersiap-siap mandi dan melepas baju luarnya.

Hans lalu berpindah dan berisitirahat di sebuah batu besar di bawah pohon tidak jauh dari danau.

"Kamu akan menungguku mandi?" tanya Zachary saat melihat Hans malah mengambil posisi dan merebahkan diri di batu besar.

"Bukankah lebih baik jika aku tetap sini dan menunggu Paman selesai mandi? Paman mungkin mendapati kesulitan saat kembali karena—maaf—kondisi kaki paman yang kurang sempurna. Atau, paman merasa tidak nyaman jika aku menunggui Anda mandi? Beberapa orang merasa tidak nyaman saat ada yang melihatnya mandi. Kalau memang begitu, aku akan pulang dan kembali lagi untuk menjemput Anda."

Bocah itu berpikir mungkin Zachary tidak akan nyaman jika ia melihat salah satu kakinya yang tidak sempurna.

Zachary mau tidak mau harus mengakui bahwa Hans adalah anak yang pengertian. Ia menyukainya.

"Tunggu di sini sebentar. Aku tidak akan lama," janji Zachary.

"Tentu! Nikmati waktumu."

Zachary langsung meluncur ke dalam danau dan mulai berenang. Benar seperti kata Hans. Airnya cukup hangat. Ia pun berenang lebih dalam dan mendapati ada beberapa ikan yang cukup besar. Ia lantas kembali ke permukaan untuk menawari Hans.

"Apa kamu mau ikan untuk sarapan?" tanya Zachary.

Hans yang rebahan di atas batu langsung duduk. Pertanyaan Zachary sukses menarik perhatiannya.

"Ikan?" Hans balik bertanya karena tidak paham. Tapi, ia langsung tanggap saat saat Zachary menunjuk ke arah danau. "Ikan danau ini?" tanyanya.

"Ya, kamu mau?" tanya Zachary lagi.

"Aku sih mau saja. Maksudku, ikan di danau ini cukup susah untuk didapatkan. Bahkan memancing pun tidak mungkin dapat. Tidak mungkin paman bisa menangkapnya dalam cuaca segelap ini."

"Jadi, bagaimana? kamu mau atau tidak? urusan menangkapnya serahkan padaku. Aku bahkan bisa menangkap 5 ekor kelinci."

"Iya, ya! kalau begitu aku mau. Ikan bakar untuk sarapan pasti akan sangat enak."

"Baiklah kalau begitu, aku akan menangkap beberapa ikan besar untukmu. Kemarilah, bawakan timba tadi yang kamu bawa. Kita harus memenuhinya dengan banyak ikan."

Hans awalnya menatap ke arah Zachary dengan wajah sangsi. Namun, begitu ingat bahwa Zachary telah menangkap 5 ekor kelinci padang yang terkenal susah ditangkap. Hans pun menjadi bersemangat. Ia berlari ke dermaga dan menyemangati Zachary.

"Semangat Paman Will. Semangat!"

Zachary menjadi antusias. Layaknya kembali ke masa remajanya yang menyenangkan. Menangkap ikan dengan tangan kosong tentu saja tidak mudah, hampir-hampir mustahil, tapi Zachary punya caranya sendiri. Ia menyebarkan mana untuk menghentikan laju ikan sehingga mumdahkannya untuk menangkapnya.

Tak butuh waktu lama bagi Zachary untuk mengisi timba yang dibawa Hans. Senyum terus tersungging di wajah Hans setiap Zachary muncul ke permukaan dengan membawa ikan besar di tangan.

Tak kurang dari 6 ekor ikan besar tertangkap dalam waktu singkat. Kalau bukan karena timba itu tidak muat, Zachary mungkin akan menangkap lagi. Tapi, ia memutuskan untuk berhenti karena menurutnya 6 ekor sudah lebih dari cukup. Tentunya, demi keberlangsungan ekosistem ikan di danau ini.

Hans tampak sangat senang. Ia memimpin jalan kembali dengan celoteh riang. Kendati ia tampak kesulitan membawa timba itu, tapi ia bersikeras untuk membawanya sendiri.

"Aku sangat senang akhir-akhir ini. Sejak bertemu dengan malaikat cantik yang baik hati, hidupku berubah sepenuhnya. Ibuku bisa berobat dan semakin membaik. Aku jadi bisa menemaniku bermain. Keluarga kami juga bisa makan dengan cukup, bahkan aku akan makan kelinci panggang untuk pertama kalinya setelah beberapa lama. Sekarang aku bahkan bisa mendapatkan ikan danau ini. Sungguh beruntungnya aku. Andai aku bertemu lagi dengan malaikat itu untuk sekali lagi, aku pasti akan berterima kasih dengan sungguh-sungguh. Malaikat itu pembawa keberuntungan untukku."

Sepanjang Hans bercerita, Zachary hanya bisa meremas dadanya yang terasa menyakitkan oleh rasa rindu. Sejujurnya ia langsung tahu hanya dari mendengarnya bahwa malaikat yang diceritakan Hans adalah Eleanor. Betapa bersyukurnya Zachary saat akhirnya ia mendapatkan petunjuk dari apa yang dicarinya. Akhirnya ia bisa selangkah lebih dekat dengan wanitanya.

"Apa yang dilakukan malaikat cantik itu padamu sehingga bisa merubah hidupmu menjadi demikian beruntung?" tanya Zachary. Suaranya bergetar.

***

DUKE WILLBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang