31. Titik Lelah

15 2 0
                                    

***

Jalanan yang menurun memudahkan langkahnya. Kaki panjangnya menyusuri turunan lebih cepat dari yang diharapkan. Sehingga tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai di gubug kayu yang dimaksud.

Zachary tiba di kaki bukit bertepatan dengan matahari yang mulai tenggelam. Sejenak ia berdiri di depan pintu mendengar suara-suara dari dalam gubug.

Terdengar celoteh bebrapa anak, suara wanita yang mungkin saja ibunya, juga suara kakek tua. Dari dalam gubug juga tercium bau roti yang baru saja dipanggang, wangi yang membuat lapar. Suara mereka riang penuh kegembiraan. Siap menyantap makan malam dengan nuansa yang hangat. Membuat Zachary tidak sabar untuk ikut berbaur dengan kehangatan keluarga itu.

Zachary lantas mengetuk pintu.

Tok tok!

Ketukan itu sangat pelan, tapi sukses membuat seisi ruangan terdiam.

"Kalian bersembunyilah. Biar aku yang melihatnya," ucap si kakek.

Ada suara gaduh sebentar sebelum suara beralih ke sunyi.

Zachary menduga mereka tengah mempersiapkan tempat persembunyian, atau senjata mungkin ....

Mengantisipasi itu, Zachary lantas mundur beberapa langkah. Ia melepas tudung jubahnya dan menyamarkan penampilannya dengan mengubah penampilannya dengan mantra. Sekilas tidak ada yang berubah darinya, akan tetapi jika orang dengan mana lebih lemah darinya melihatnya sekarang, maka mereka akan melihat tampilan yang benar-benar berbeda.

Seorang kakek keluar dengan membawa satu tongkat. Sekilas tidak mengancam. Hanya saja, di tangan lainnya yang berlindung di balik bajunya yang besar, tengah memegang sebuah belati. Siap untuk menyerang.

Zachary berdehem. Sekarang ia tengah menyamar sebagai seorang pemburu yang satu kakinya tidak tumbuh sempurna. Terlihat menyedihkan dan tidak mengancam.

"Aku pulang dari berburu, tapi aku terlalu bersemangat sehingga lupa waktu dan melewatkan waktu pulang. Aku sangat senang karena menemukan koloni kelinci dan memburunya dengan semangat. Saat aku sadar, tahu-tahu hari sudah gelap," ucap Zachary. Sudut matanya mengerling ke arah tumpukan kelinci buruannya.

Kakek tua itu tidak menjawab. Ia masih memandangi wajah Zachary dengan rasa tidak percaya. Tidak mungkin seorang anak muda dengan satu kaki yang cacat menangkap hewan sebanyak ini. Ini pasti sebuah tipuan.

Sejak cucu lelakinya mendapatkan kalung berharga mahal secara kebetulan, secara kebetulan pula banyak pemburu yang mendadak mendatangi mereka berharap bisa mencuri uang sisa hasil penjualan kalung tersebut, atau paling tidak bertanya-tanya perihal bagaimana cucu lelakinya mendapatkan itu. Makanya, ia tidak akan percaya dengan mudah.

Zachary yang tidak tahu menahu mengenai itu tentu saja tetap melanjutkan aktingnya.

"Jika tidak keberatan, bisakah aku menginap di sini untuk satu malam saja. Aku akan memberikan semua buruanku, sebagai imbalannya," ucap Zachary.

Ia menyodorkan 5 ekor kelinci padang yang ditangkapnya pada kakek tua itu. Ia membentangkan satu persatu kelinci dan menjejerkannya di depan si kakek. Kelinci itu tampak gemuk dan kondisinya juga bagus. Bulu-bulunya halus dengan corak warna yang cantik.

Kelinci itu juga terlihat sangat penurut. Meski hanya diikat dengan akar pohon, kelinci itu tidak ada satupun yang memberontak. Aneh sungguh aneh.

Kakek tua itu menatap bergantian antara kelinci dan pria ini. Di balik tekadnya untuk tidak mudah percaya pada pria asing, terutama pemburu, tetap terbersit perasaan takjub melihat ada 5 ekor kelinci yang gemuk dan sehat yang tertangkap. Bahkan kelinci itu terlihat tidak terluka sama sekali, yang mana itu berarti bahwa kulit-kulit dari hewan itu bisa dimanfaatkan secara sempurna.

DUKE WILLBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang