30. Penerimaan Tanpa Syarat

16 2 0
                                    

***

Marchioness yang mendengarnya langsung menaruh jari telunjuknya di depan bibir Ruby. Kepalanya menggeleng.

"Jangan mengatakan itu lagi, Ibu mohon."

"Aku sudah baik-baik saja sekarang. Jadi, aku ingin memulainya sesegera mungkin," jawabnya tegas.

Ruby tetap bersikeras karena hanya dengan penelitian inilah ia bisa membuktikan bahwa ia berguna.

"Apakah kamu masih berpikir bahwa kamu baru dianggap berguna jika bisa melakukan penelitian itu?"

Ruby mencelos. Ucapan Marchioness tepat sasaran. Ia tidak bisa membantahnya.

Dari jauh suara helaan napas Marquise terdengar keras. Ia turut menyalahkan dirinya sendiri karena ternyata Ruby masihlah berpikir seperti itu.

"Ibu tidak tahu harus berkata apa lagi supaya perasaan ibu tersampaikan," keluh Marchioness. "Ibu sungguh telah menerimamu apa adanya. Bahkan tanpa kamu perlu melakukan apa pun."

"Aku tahu, Ibu. Justru karena ibu telah menrimaku dengan setulus ini, makanya aku ingin melakukan sesuatu untuk ibu. Dan hanya ini yang bisa aku lakukan. Kumohon, izinkan aku melakukannya."

Marchioness tidak kuasa untuk berkata-kata. Ia lantas memeluk putrinya. Tangannya melingkar erat di tubuh gadis itu. Tekad Ruby begitu kuat. Ia tidak mungkin bisa menghentikannya. Tapi, mungkin ada satu hal yang bisa ia usahakan.

Marchioness melepas pelukannya dan menatap putrinya lekat. Sembari mengulas senyum, ia berujar, "Ibu mengizinkanmu ...."

"Sungguh?" Ruby tidak bisa menyembunyikan binar di matanya.

"Asalkan ...."

Ruby menyipitkan matanya. Sudah jelas ibunya tidak mungkin setuju dengan mudahnya.

"Kita akan menunggu sampe seminggu untuk melihat perkembanganmu. Jika selama seminggu kondisimu benar-benar baik maka ibu akan mengizinkannya. Jika tidak, dengan berat hati ibu akan melarangmu."

Ruby menganga. "Itu terlalu lama. Tidak bisakah itu dipercepat menjadi 3 hari misalnya."

"Tidak bisa! Harus 7 hari penuh tidak boleh kurang satu hari pun."

"Tapi, itu terlalu lama, Ibu. Apa yang harus kulakukan selama 7 hari itu?"

"Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Cukup beristirahat saja. Jika bosan kamu bisa jalan-jalan, melihat bunga, minum teh, menikmati kuliner, belanja baju—kurasa kita perlu mengisi lemarimu dengan banyak baju—, kamu bisa melakukan banyak hal asal tidak berlebihan. Singkatnya, kamu bisa melakukan apapun kecuali mempersiapkan penelitian."

Ruby mengedipkan mata berulang kali. Ternyata ibunya lebih ketat dari yang ia sangka. Ia akan mati bosan jika seperti ini.

Hal-hal yang baru saja disebutkan oleh Marchioness adalah hal yang paling jarang ia lakukan. Kecuali minum teh, hal lainnya hanya ia lakukan seperlunya saja. Jadi, ia tidak yakin akan sanggup menjalani rutinitas itu dalam seminggu. Entah dari mana Marchioness mendapat ide seperti itu, karena jujur saja ia lebih memilih tidak melakukan apa-apa aripada melakukan hal-hal yang disebutkan.

"Apakah kamu keberatan?" tanya Marchioness.

Ruby tidak yakin untuk menjawabnya. Hati kecilnya mengatakan jika jawaban dari pertanyaan itu tidak mungkin sesederhana itu. Ia menduga, pasti ada sesuatu yang disembunyikan ibunya.

Dan benar saja.

Marchiones berujar, "Jawab saja jika kamu keberatan karena ibu akan dengan senang hati memberikan opsi lain."

"Apa memangnya?" Daniel mewakili Ruby bertanya.

"Tentu saja jika Ruby keberatan dengan waktu yang diberikan, ibu akan dengan senang hati meniadakan penelitian itu."

"Apa!" Daniel menjerit tidak percaya. Ruby apalagi. Gadis itu sampai harus memegangi kepalanya karena serangan kejutan yang tiba-tiba.

Marquise hanya bisa menggeleng. Sepertinya, ini adalah waktunya untuk turun tangan. Dengan lembut ia memegang lengan istrinya dan mengajaknya keluar dari sana.

"Mau ke mana? aku belum selesai bicara dengan Ruby."

"Tidak, Linda. Kita harus keluar. Kamu tidak lihat Ruby sampai pucat karena ucapanmu barusan."

"Masa?" Marchioness menatap Ruby lekat, tapi tidak bisa, marquise telah memantapkan diri untuk membawa istrinya keluar dari sana.

"Ayo, keluar dari sini, Sayang. Ruby harus istirahat. Kamu juga Daniel. Evan, segera setelah kamu selesai memeriksanya, kamu juga harus keluar. Ayo, semua keluar."

Ucapan Marquise yang notabene adalah kepala keluarga sudah seperti hukum di sini, jadi tak sampai 5 menit, semua orang telah keluar dari ruangan meninggalkan Ruby sendirian.

Sepertinya ia benar-benar harus istirahat, gumamnya.

Begitulah Ruby akhirnya harus menunda penelitiannya dan benar-benar istirahat. Akan tetapi, ia tidak sungguh-sungguh tinggal diam.

Ruby berusaha mengumpulkan banyak buku dan informasi terkait alkimia yang bisa ditemukan. Bukan tanpa sebab, gadis itu ingin meminimalisir kesalahan yang mungkin saja akan terjadi. Mengingat dia hanya sendirian tanpa ada pendamping. Tidak akan ada yang mengoreksi jika ada kesalahan, tidak pula ada yang membetulkan jika terjadi kegagalan. Semua yang terjadi sepenuhnya akan menjadi tanggungjawabnya. Untuk itu, ia perlu membaca banyak referensi demi menudukung ingatannya.

Begitulah ia menghabiskan waktu istirahatnya.

***

Lain orang, lain pula cerita. Setelah kesuksesannya menemukan koordinat ke-dua, Zachary merasa akan sangat mudah menemukan yang ketiga, tapi anggapannya ternyata salah.

Di sini, Zachary tengah terbaring di hamparan padang rumput yang lebar. Ia kelelahan. Bekal air minum juga sudah habis. Karena meski padang hijau ini terlihat sangat subur, tapi udaranya cukup kering sehingga ia lebih cepat dehidrasi.

Sembari berbaring, Zachary berpikir. Sesungguhnya ia sangat yakin bahwa ini adalah koordinat teleportasi ke-3, tapi dari padang rumput selebar ini, bagaimana ia menentukannya?

Ia sudah berteleportasi di 5 titik sepanjang padang ini, tapi tidak ada satupun yang benar. Sama sekali tidak ada jejak Eleanor yang tertinggal.

Pria itu menggerang keras.

Sial! Umpatnya.

Zachary tidak bisa memaksakan diri untuk menggunakan mana secara berlebihan karena efek sampingnya akan menyulitkannya. Belum lagi jika mananya terlanjur terkuras, waktu yang dibutuhkan untuk pengembaliannya juga akan sangat lama. Itu akan merugikannya.

Jadi, mau tidak mau Zachary harus beristirahat dan untuk sementara waktu berhenti menggunakan mana tersebut. Zachary lantas mengutus Axio untuk mencari tempat yang nyaman sebagai tempat beristirahat.

Axio pun terbang mengitari bukit. Sejurus kemudian ia kembali untuk melaporkan hasil pencariannya.

Menurut penglihatan Axio yang berbagi dengannya, ada danau di kaki bukit. Juga ada gubug kayu tidak jauh dari danau tersebut. Gubug itu berpenghuni, jadi ia berencana meminta bantuannya.

Begitulah, Zachary akhirnya melangkahkan kaki ke sana. Sepanjang perjalanan, ia tidak tinggal diam. Ia juga berburu sebagai persiapan untuk makan malam.

Axio membantu Zachary dengan terbang lebih tinggi dan mendeteksi mangsa. Kerja sama yang terstruktur membuat mereka langsung mendapatkan 5 ekor kelinci dalam kurun waktu yang singkat.

"Sudah lama kita tidak berburu bersama," ucap Zachary.

Axio hanya terbang rendah sebagai jawaban.

"Biasanya kita berburu untuk kompetisi. Terkadang juga berburu monster. Tidak seperti sekarang yang berburu untuk mencari makan. Rasanya itu mengingatkanku saat kita masih kecil dan berburu di hutan dekat rumah. Itu sangat menyenangkan. Saat-saat itu sangat menyenangkan."

Mengenang masa lalu ternyata sedikit banyak mengembalikan perasaan Zachary yang sempat jatuh. Sungguh melegakan.

*** 

DUKE WILLBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang