25. Bincang Malam Dengan Ayah

16 2 0
                                    

***

Zachary hanya diam mendengarnya. Entah ekspresi apa yang tersembunyi dalam tudung jubah hitamnya.

"Sejujurnya kami awalnya menyangsikan apa yang dilihat anak-anak, tapi terlalu banyak yang melihatnya sehingga mustahil jika itu hanya hayalan semata. Pun kami juga mendengar tangisannya. Hal itu begitu aneh dan mendadak sehingga anak-anak terus membicarakannya. Mereka pun mulai menjuluki anak perempuan yang mereka lihat dengan sebutan peri dan menamainya sebagai peri ceri yang menangis, peri ceri yang bersedih. Kami merasa belum menemukan alasan yang masuk akal untuk melarang mereka membahas itu, jadi kami membiarkan mereka membicarakannya. Toh, dalam beberapa hari mereka akan lupa. Biarlah seperti itu sebagai kenangan yang akan mereka ingat kelak."

Tak terasa, dialog monolog itu akhirnya menemui titik henti saat mereka akhirnya sampai di kantor kepala panti. Sister Nancy bertanya beberapa pertanyaan lain terkait pelayanan yang diinginkan Zachary, tapi pemuda itu hanya menjawab singkat pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jika itu pertanyaan dengan jawaban iya dan tidak maka ia hanya akan mengangguk dan menggeleng.

Sister Nancy tampaknya memahami jika tamunya hanya ingin tenang sendirian. Jadi, segera setelah kamar telah siap, mereka pun mengantar Zachary untuk beristirahat.

Saat Zachary tiba di kamar, Axio telah menunggu. Ia bertengger di sudut jendela. Menanti pemiliknya.

Zachary tersenyum saat melihatnya. "Istirahatlah!" gumamnya memberi perintah. Ia pun melambaikan tangan dan dalam sekejap Axio menghilang dari pandangan.

Kamar itu sangat polos. Perabotan yang tersedia hanya ranjang dan seperangkat meja dan kursi. Kasurnya tipis dengan kain sprei dan selimut bertekstur kasar. Bahkan kamar pelayan di kediaman duchy masih lebih baik dari ini. Secara keseluruhan kamar ini bersih, tapi dengan kondisi yang tidak terlalu bagus.

"Setidaknya malam akan hangat," gumam Zachary. Ia berharap Eleanor juga berada di tempat yang hangat.

Membayangkan tentang Eleanor membuat Zachary kembali merasa sedih. "Tolong tetap sehat dan tunggu aku di sana, Ele. Aku akan menemukanmu tidak peduli di manapun kamu berada. Aku akan menemukanmu," janjinya.

***

Sementara itu di Langdon Hall.

Ruby tengah berada di ranjang sembari membuka sedikit matanya. Hanya sedikit karena ia masih merasakan perih di sana akibat mantra pengubah warna yang dirapal oleh Daniel.

Gadis itu belum sembuh, tapi bukan berarti ia sakit. Selain matanya, semua anggota tubuhnya baik-baik saja. Dan jujur, ia bosan terus berbaring di ranjang. Belum lagi rasa kaku dan kebas di beberapa tempat karena terus berbaring.

"Aku akan mencari angin sebentar," gumamnya.

Hari telah beranjak tengah malam saat Ruby memutuskan untuk turun ke area taman. Sepanjang jalan ia tidak bertemu siapapun dan itu menguntungkannya.

Meski rambutnya telah berubah cokelat berkat ramuan dari Remy, tetap saja akan ada yang menatapnya dengan penuh tanda tanya jika mereka melihat keberadaannya apalagi jika berserobok dengan mata merahnya.

Namun, sangkaan Ruby ternyata salah. Karena saat ia tiba di gerbang taman, ada sosok dari kejauhan yang menyapanya.

"Ruby ...?" panggil sosok itu.

Ruby sedikit berjingkat karena terkejut. Selimut yang dibawanya sampai terlepas dari pegangan tangannya akibat panggilan yang tiba-tiba itu.

Kendati Ruby baru berada di sana, tapi sedikit banyak ia telah hafal suara-suara orang di sekitarnya. Makanya, ia bisa tahu siapa pemilik suara itu meski keberadaannya masih berada beberapa meter darinya. Mungkin juga matanya yang bermasalah membuatnya semakin menajamkan indra pendengarannya tanpa ia sadari.

DUKE WILLBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang