Mentari pagi bersinar cerah menerangi alam semesta raya.
Di ndalem, tepatnya di bagian rumah paling belakang. Seluruh keluarga terkecuali menantu rumah itu tengah menyantap sarapan paginya dengan lahap dan damai. Tak ada yang memulai perbincangan, ruangan itu hanya diisi dengan suara dentingan sendok yang beradu dengan piring.
Satu-satunya perempuan di dalam ruangan tampak sesekali melirik putranya yang dari kemarin tak banyak bersuara.
"Alzam." Panggilan lembut menyapa indera pendengar laki-laki berseragam SMA hingga membuatnya secara spontan mendongak.
"Ya?" sahutnya dengan menatap ibunya sebentar lalu kembali memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
Umi Sarah melirik suaminya lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala.
Menghela napas pelan, abah Yusuf meletakkan sendoknya lalu menatap putranya yang menunduk menyantap sarapan.
Ekhem!
Berdehem singkat, Abah Yusuf lalu berucap, "Nak, Abah dan Umi minta maaf soal kesalahpahaman yang terjadi kemarin." Pria paruh baya itu berhenti sejenak untuk melihat reaksi yang ditampakkan putranya.
Alzam hanya diam seraya mengunyah makanannya pelan, tatapannya ia arahkan pada piring di hadapannya tak menatap ibu ataupun sang ayah.
Pria paruh baya itu menghela napasnya. "Kemarin, Abah benar-benar dikuasai amarah dan kecewa, bukan pada kamu melainkan pada diri Abah sendiri. Abah merasa telah gagal menjadi Ayah yang baik untuk anaknya." Jemari Alzam yang hendak mengambil gelas terhenti lalu mendongak memandang wajah sang ayah.
Gurat kesedihan tampak terlukis pada wajah pria berumur empat puluh tahunan lebih itu membuat sang isteri yang berada di sampingnya mengusap lembut pundaknya menenangkan.
Alzam terdiam mengamati kedua orang tuanya. Kepalanya perlahan mengangguk memberi jawaban "gapapa," sahutnya lalu meneguk segelas air hingga menyisakan setengah.
"Dan lagi soal tamparan waktu itu, Abah minta maaf, Abah hilang kendali hingga tanpa sadar melayangkan tangan ini pada wajah kamu. Harusnya, Abah lebih bijak dengan berhusnudzon dan tabayyun lebih dulu sebelum memutuskan sesuatu," tambahnya dengan nada dan wajah menyesal yang kentara.
Alzam manggut-manggut, "Gapapa kok Alzam udah biasa gak dipercaya."
Jleb
Bagai ditikam belati, pasangan paruh baya itu saling tatap mendapat jawaban yang cukup menampar mereka. Apa selama ini cara didik mereka salah hingga membuat Alzam merasa tidak dipercaya?
Umi Sarah menghela napasnya. "Zam," panggilnya pelan.
"Umi minta maaf jika selama ini cara kami mendidik kamu membuat kamu merasa tidak dipercaya ataupun hal lainnya." Umi Sarah memandang wajah Alzam yang terlihat enggan menatapnya.
"Alzam?"
Selesai dengan sarapannya, Alzam mengambil tisu lalu mengelap bibirnya. Laki-laki itu menatap manik kedua orang tuanya bergantian. "Mau gimana lagi? Sudah tugas seorang anak, 'kan, buat maafin kesalahan orang tuanya?" sahut Alzam dengan sudut bibir yang tertarik ke atas.
Umi Sarah menarik napasnya pelan. "Nak, terlepas dari cara kami yang salah ataupun tidak berkenan dihati kamu sebagai anak. Perlu kamu tahu, kami sebagai orang tua tentu menginginkan yang terbaik buat anak-anaknya," kata umi Sarah, merasa terluka dengan ucapan dan tatapan putranya.
Alzam terdiam menatap ibunya lama. "Iya, Alzam ngerti kok. Gak usah dibahas lagi, udah berlalu juga," sahutnya diiringi anggukan kepala.
"Maafin Umi dan Abah ya? Insya Allah, kejadian kemarin akan menjadi pembelajaran yang berharga buat kita semua tentang betapa pentingnya komunikasi dalam keluarga, apalagi Allah dan rasulnya telah mengajarkan kita untuk mencari tahu lebih dulu (tabayyun) sebelum memutuskan sesuatu," tambahnya membuat Alzam tersenyum. Sebenarnya kemarahan orang tuanya kemarin sudah Alzam maklumi. Hanya saja ia sedikit kecewa karena tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astagfirullah, Alzam! (On Going)
Novela Juvenil⚠️17+ (Berisi kata-kata kasar, harap bijak!) Spin of Bukan Cerminan [Religi - Teenfiction] Apa yang terlintas dalam benakmu, ketika mendengar nama, Alzam? Seseorang yang soleh? Tekun beribadah atau seseorang yang berwawasan luas? Tetapi, bagaimana...