AishaZam (27)

1.2K 56 21
                                    

Prang!

"Asem! panas." Alzam mengaduh seraya mengibaskan tangannya yang terasa melepuh akibat kecerobohannya yang menyentuh langsung panci yang tengah duduk manis, di atas kompor dengan api yang menyala.

Alzam menyalakan kran, membiarkan air mengalir membasuh tangannya yang terasa panas dan perih sekaligus, lalu mengelap peluh yang mulai membanjiri dahi hingga pelipis dengan kaos yang dikenakannya.

Alzam menghela napasnya pelan. Tangannya bertelekan pinggang memandang kekacauan yang dibuatnya. Lihatlah, dapur yang semulanya bersih dan rapi kini terlihat seperti habis terjadi peperangan yang mengakibatkan pertumpahan darah. "Ternyata, masak kayak gini doang nggak semudah yang gue pikirin," gumamnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berjongkok mengambil spatula yang jatuh ke lantai.

Pukul 04.10 PM, setelah melaksanakan salat subuh, laki-laki jangkung itu langsung bergegas menuju dapur untuk memasak sesuatu yang spesial untuk orang terkasih yang tengah marah atau mungkin kecewa padanya? Entahlah, yang jelas Alzam merasa harus melakukan sesuatu untuknya.

Alzam mengaduk panci yang berisikan benda lunak yang telah ia racik dengan susah payah. Aromanya mulai menguar menandakan masakannya hampir matang.

Laki-laki itu mematikan kompor lalu mengangkat panci untuk ia pindahkan isinya pada mangkuk yang telah ia siapkan.

Meski terlihat lelah, Alzam menarik sudut bibirnya, melihat bukti nyata dari usahanya selama hampir satu jam berada di tempat dan alat-alat yang tak pernah ia gunakan.

"Akhirnya," ucap Alzam seraya mengangkat semangkuk bubur hasil dari jerih payahnya.

"Umm, wangi, pasti enak," gumamnya dengan menghirup aroma dan mengagumi betapa mengagumkannya ia bisa mengerjakan pekerjaan ini dengan sangat baik. Meski sebelumnya ia tak pernah melakukannya.

"ALLAHU AKBAR, ALZAM!"

Prang!

Semangkuk bubur dalam genggaman laki-laki itu jatuh seketika saat teriakan nyaring menyapa gendang telinganya.

Netra gelapnya membola melihat hasil kerjas kerasnya berakhir mengenaskan di lantai kotor nan dingin itu. Alzam menaikkan pandangannya melihat pada perempuan paruh baya yang berdiri di bibir pintu dapur dengan raut wajah yang tak kalah shock darinya.

"Umi apa-apaan sih?!"

"Harusnya umi yang bilang gitu. Kamu ngapain subuh-subuh gini ngacakin dapur yang udah umi tata rapi? Hah?!" sergah umi Sarah pada putranya.

"Nanti, 'kan, bisa dibersiin lagi," balas Alzam lalu berjongkok melihat bubur hasil kerja kerasnya yang telah menyatu dengan lantai.

"Ah, umi!" teriaknya kesal dengan bokong yang telah duduk di lantai dan punggung yang bersandar pada meja. Persis anak-anak yang tengah merajuk pada ibunya.

Perempuan paruh baya itu mengernyit heran. "Kenapa malah duduk di lantai? Bangun dan beresin semua ini, umi mau masak."

"Argh! Umi nggak ngerti!" Alzam berdiri lalu menghadap ibunya membuat kedua alis perempuan paruh baya itu menyatu.

"Umi tau nggak? Mulai dari abis salat subuh tadi, Alzam udah di sini nyiapin bubur buat Aisha. Tapi liat sekarang." Alzam menunjuk lantai, lebih tepatnya menunjuk bubur yang berada di sana.

Umi Sarah mengikuti arah tunjuk putranya. "Kamu buat bubur?"

"Usaha Alzam jadi terbuang sia-sia, karena umi."

Tatapan yang tadinya bingung kini berubah merasa bersalah karena telah menggagalkan usaha putranya. "Maaf. Maafin umi, ya?" ucap umi Sarah seraya berjalan mendekati putranya yang menunduk dalam membuat paruh baya itu mengernyit lalu mengangkat dagu Alzam.

Astagfirullah, Alzam! (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang