Karena ada yang menggenggam pergelangan tangannya, maka refleks pertama Nina adalah berusaha membebaskan diri.
Nina membuka mata, namun pandangannya tetap gelap. Nina lupa kalau dia menggunakan masker. Di tengah kepanikan, Nina berusaha berontak...
Lalu pandangannya terang, dan wajah Nina kini berhadap-hadapan dengan wajah Gaza.
Alis Gaza bertaut. "Ada apa, sih?"
Di belakang Gaza, Rangga tergopoh-gopoh mendekati mereka, jadi kata-kata yang sudah siap Nina semburkan dia telan kembali.
"Ada apa ini?"
Rangga menatap Gaza yang terlihat dongkol, lalu menatap Nina.
Nina tak mengatakan apa-apa, tapi bola matanya melirik terang-terangan ke arah pergelangan tangannya.... yang masih dalam genggaman Gaza.
Baik Gaza dan Rangga ikut menoleh ke arah pandangan Nina.
Gaza langsung melepaskan pegangannya seolah dia sedang memegang bara api, lalu mundur selangkah, hampir menabrak Rangga di belakanganya andai saja Rangga tidak buru-buru menghindar ke samping.
Nina menatap Gaza, lalu menatap Rangga, dan sambil menegakkan tubuh, dia bertanya, "Kita pulang sekarang?"
***
"Berapa lama kita sampai ke Selabintana?" tanya Nina.
Mobil mereka baru menyusuri jalan kecamatan yang hanya cukup dilintasi dua mobil, dan jalanan sangat padat. Meski lalu lintas dari bumi perkemahan harusnya lebih sepi, tidak menjadikan jalan mereka lancar karena beberapa kali jalur mereka dipotong dari kendaraan yang berlawanan arah.
Tanpa menghitung kemacetan, perjalanan dari Mandalawangi ke Selabintana berlangsung selama dua jam. Nina tahu karena dia sempat mengeceknya dari peta di ponselnya.
Dan Nina juga tahu, Gaza dan Rangga tidak akan mengajaknya bicara kecuali Nina yang duluan membuka obrolan.
Tidak seperti sepupu-sepupunya yang hidupnya lebih glamor dan seru, belakangan ini Nina tidak pernah butuh keamanan personal. Dulu, memang Nina sempat butuh, waktu dia lebih muda, emosinya masih penuh gejolak, dan hidupnya masih kocar-kacir.
Sebelum ada GSR, asisten-asisten kakeknya sibuk mencari bantuan dari internal pegawai grup mereka. Ada yang jadi ajudan, pengawas, joki skripsi, pengawal, dan supir pribadi. Belakangan setelah ada GSR, Nina tahu hampir semua kebutuhan keluarga dan grup perusahaan mereka bisa dipenuhi GSR.
Saking tergantungnya kakeknya dengan GSR, Nina curiga dalam beberapa tahun ke depan kakeknya akan mendesak GSR untuk membuka jasa penyalur baby sitter--mengingat cucu-cucu kesayangan kakeknya akan memasuki usia menikah sebentar lagi.
Nina bukan cucu kesayangan, jadi tidak terlalu berpengaruh kalau usia pantas menikahnya sudah terlewat beberapa tahun yang lalu.
Dari semua pegawai yang disalurkan GSR, Nina paling sering berinteraksi dengan supir perusahaan mereka. Dan semuanya hampir patuh pada SOP yang sama--patuh pada batas kecepatan dan rambu lalu lintas, mempraktekkan defensive driving, tidak makan, minum atau mengecek ponsel selama mengemudi, dan yang terakhir, mereka tak pernah bicara kecuali ditanya.
Tapi Nina sudah terlalu bosan dan salah satu dari mereka--entah Rangga atau Gaza--salah satu harus meladeni obrolannya.
Rangga sedang memegang kemudi. Jadi lelaki muda itu melirik Gaza yang duduk di kursi penumpang depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...