Begitu datang di rumah Ghyan, Ghyan langsung mengajak Nina, Gaza dan Mula ke gazebo dekat kolam renang di halaman belakang,
Asisten rumah tangga Ghyan menyuguhkan makanan kecil dan dua cangkir teh, serta dua cangkir kopi. Yang kopi untuk Ghyan dan Mula, sementara itu karena Gaza dan Nina sama-sama sudah minum kopi beberapa jam sebelumnya, Gaza dan Nina hampir bersamaan menjawab teh saat ditawari.
"Kecelakaan tuh maksudnya gimana?" tanya Mula dengan nada pedas. "Apa dia lagi jalan di pinggir jalan terus ketabrak titit, terus hamil, gitu?"
Nina dan Gaza duduk bersebrangan, dan saling berpandangan saat mendengar ucapan Mula.
Nina kini menyadari keputusan Rindang untuk mengungsi ke rumah Ghyan merupakan keputusan yang tepat. Rindang itu jauh lebih sensitif dan lembut hati, tidak seperti Nina yang lebih tahan banting dengan omongan Mula yang ceplas-ceplos.
Bahkan Nina yang menganggap dirinya tahan banting pun bisa nangis mendengar ucapan Mula, tak peduli seberapa benar perkataannya.
Untungnya, saat pembicaraan ini terjadi, Rindang tidak mendengarnya. Ghyan sudah bilang di awal kalau Rindang sedang pergi cari bakso diantar Jasmyn, anak perempuan pertama Ghyan.
"Mbak, sudahlah jangan begitu," tegur Ghyan pelan. "Itu nggak solutif. Rindang datang ke kita karena dia menganggap kita tidak tersentuh Ayah... sama kayak Nina."
Nina mengambil cangkir teh di depannya dan mulai menyesapnya pelan, lebih karena canggung dan tak tahu harus bilang apa.
Mungkin bukan ide bagus membawa serta Gaza ke pembicaraan yang secara gamblang membeberkan masalah keluarga besar mereka. Tapi entah mengapa Mula dan Ghyan menganggapnya biasa saja, Gaza pun sepertinya menganggapnya biasa saja, Gaza hanya terlihat setengah melamun sambil menggigiti risol yang jadi suguhan.
Mula berdecak. "Yaudah kalau menurut kamu yang solutif itu bagaimana?"
"Aku nggak tahu, tapi itu terserah Rindang.... Dia baru datang ke aku tadi pagi, itu pun udah dengan mata bengkak dan selama cerita nggak berhenti nangis. Yang jelas dia bilang dia sudah tidak mungkin tinggal di rumah Ayah lagi, karena kini muntah-muntahnya makin sering. Dia juga tidak berani di apartemen atau di kosan sendirian, tak peduli seberapa mewahnya, bukan tempat yang ideal buat ibu hamil," terang Ghyan. "Kita cuma perlu menyediakan tempat buat dia menenangkan diri, bayangin dia dalam titik terendah dalam hidupnya mencari kita karena percaya sama kita... kalau ujungnya dihakimi apa nggak jadi makin terpuruk."
"Dia nggak nyari kita ah, yang dia cari kamu," kilah Mula, tapi kelihatannya lebih karena gengsi dengan teguran Ghyan.
"Rindang tahu kita sepaket, mendatangi Tante Ghyan pasti Tante Mula juga bakal tahu..." kata Ghyan.
"Wah ya itu ajarannya Nina kalau ada masalah ingetnya sama kita..." kata Mula. "Coba, berapa kali kamu ada di titik terendah dalam hidup dan nyari kita, Na? Pas malam sebelum disuruh berangkat ke Thailand kamu nginep di rumah Tante... terus nelponin seseorang tapi orangnya nggak ngangkat itu kan?" tanya Mula, lalu setelah berkata begitu dengan sengaja melirik ke arah Gaza.
Gaza sempat melihat tatapan Mula sebelum menunduk dan mengambil cangkir tehnya. "Lima puluh satu," kata Gaza pelan, sebelum meneguk tehnya sedikit. "Jumlah missed called dari Nina malam itu...."
Nina menoleh ke arah Mula. "Tan, fokus dong, kan kita lagi bahas Rindang...."
"Nggak lah, mana ada bahas Rindang. Kata Ghyan Rindang kan ga boleh diapa-apain... biarin jangan disalahin, jangan ditegur pokoknya."
Nina melirik ke arah Ghyan yang meski biasanya penyabar namun kini ikut terbawa kesal juga melihat reaksi Mula.
Nina tahu ini masalah besar. Pertama kali terjadi di generasinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
Storie d'amoreNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...