Rombongan Ivan dan teman-temannya ada sembilan orang, termasuk Nina. Lima lelaki dan empat perempuan. Semuanya dalam rentang usia 25-30 tahun dan semuanya disiplin—mereka berangkat dari Jakarta sesuai dengan jam yang ditentukan, dan sampai ke Cibodas setengah jam lebih cepat dari waktu yang dijanjikan.
Berkemah di bulan Agustus rupanya pilihan yang tepat kalau ingin berkemah dengan suasana lengang dan sepi. Puncak keramaian bumi perkemahan, yaitu saat libur sekolah dan libur kuliah, baru saja berlalu. Berada di dalam hutan pinus dengan kontur tanah yang sedikit berbukit dangan tiga bidang tanah luas.
Ivan dan teman-temannya berdiri memutari tenda yang akan mereka tempati, di tanah lapang paling bawah, dekat dengan danau. Tenda mereka masih terlipat rapi, dengan pasak serta tiang yang masih rebah di tanah, tertata rapi, teronggok dalam dua gundukan.
Kebingungan menyebar dalam kelompok itu.
"Kok masih belum dipasang ya tendanya. Coba aku telepon dulu sama pemandunya."
Nina berdiri paling di belakang dan terbatuk sedikit. Di sampingnya Ivan berdiri, tubuhnya miring ke Nina untuk berbisik. "Mungkin karena kita datang terlalu cepat," kata Ivan, dalam upayanya untuk menenangkan.
Masalahnya, Nina sendiri tak merasa bagaimana-bagaimana. Hidupnya lumayan sering berisi kekacauan jadi tambahan satu atau dua kekacauan lagi sebenarnya bukan masalah.
Nina tak kenal siapa-siapa di rombongan ini selain Ivan, jadi sedari tadi dia hanya basa-basi memperkenalkan diri dan menjawab pertanyaan. Biasanya Nina berinisiatif membuka obrolan tapi batuknya terasa menganggu sejak semalam dan tenggorokannya sedikit sakit, jadi kalau sedang tidak ada yang mengajaknya bicara, Nina diam saja.
Sementara yang lain saling mengobrol dan salah satu teman Ivan berusaha menghubungi bumi perkemahan, Nina melayangkan pandangannya ke tenda rapi di dataran perkemahan yang lebih tinggi itu.
Tenda itu berwarna merah marun, di samping tenda ada kursi lipat yang sedang diduduki seseorang. Di samping orang yang duduk di kursi lipat, ada seorang lagi yang berdiri sambil me di samping kursi lipat sembari melipat tangan di depan dada. Keduanya mengenakan celana hiking dan jaket parka, terlihat seperti siap kalau diajak mendaki Himalaya saat itu juga.
Yang sedang berdiri mengenakan kacamata hitam polarized sementara yang sedang duduk di kursi lipat hanya mengenakan kacamata minus biasa.
Nina menyipitkan matanya, menatap kedua orang itu. Jaraknya mereka lumayan jauh, tapi Nina yakin orang yang sedang duduk itu adalah Gaza.
Kedua orang itu masih mengobrol, lalu kemudian Gaza berdiri dan masuk ke dalam tenda, sementara yang sedang berdiri dan berkacamata hitam berjalan menuruni bukit itu menuju ke rombongan Ivan.
Awan yang berarak membuat suasana siang itu lumayan teduh, tapi suara geluduk terdengar dari kejauhan...
Semua orang mengangkat kepalanya ke atas, termasuk lelaki yang tadi berdiri di samping Gaza dan kini berdiri di hadapan mereka.
"Butuh bantuan?" tanya lelaki itu, suaranya lantang, membuat semua orang terpaksa melihatnya.
Nina mengusap bagian bawah hidungnya yang kini terasa gatal, Nina melirik Ivan tapi Ivan sedang melihat ke arah lelaki muda itu. Nina tidak tahu apakah Ivan menyadari kalau penghuni tenda di atas sana adalah Gaza dan lelaki ini teman Gaza, karena wajah Ivan terlihat datar saja.
Salah satu teman Ivan yang menjawab tawaran itu. "Tidak perlu. Akan ada petugas dari pengelola yang akan membantu menaikkan tenda, kami cuma perlu menunggu..."
"Ya, tapi dengan sedikit usaha kita bisa mendirikan tenda ini sendiri," kata lelaki itu sambil menyeringai. "Jangan khawatir, tenda yang kubuat pasti aman dan kokoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...