Dari belasan tante yang Nina miliki, Mula dan Gyan merupakan teladannya.
Mungkin karena Nina di masa depan, dia seperti Mula dan Gyan; secara sukarela menjauh dari dinamika keluarga dan bisnis kakeknya, menikahi lelaki dengan pekerjaan biasa, merintis bisnis sendiri.
Mula dan Gyan tidak jadi putra-putri konglomerat seperti tante dan omnya yang lain. Anak-anaknya mereka juga sekolah di Lab School, bukan Mentari Intercultural seperti sepupu-sepupu seusia yang lain. Mula dan Gyan selalu bilang kalau mereka memang tidak merancang anak-anaknya kuliah di luar negeri--tidak perlu masuk sekolah dengan kurikulum Cambridge atau IB kalau nantinya mau kuliah di UI, kan?
Pada akhirnya, Mula dan Gyan berhasil menampilkan image sebagai 'orang yang agak kaya'. Cukup kaya untuk beli mobil, tapi tak cukup kaya untuk menggaji supir. Kemana-mana, menyetir sendiri HRV Prestige putih milik mereka, sambil membawa tas Coach sementara saudara mereka yang seumuran sudah duduk di bangku belakang mobil Eropa, diantar supir, dan memangku tas Hermes Himalaya.
Tentu, karena Mula dan Gyan merupakan anak dari istri ketiga H. Rahmat yang sudah diceraikan, pilihan hidup mereka tak banyak jadi perhatian.
Sebaliknya, Nina terlalu diperhatikan. Ibunya Nina merupakan anak tunggal dari istri keempat, istri kesayangan H. Rahmat, Enin Hesti. Konon, eyang Hesti merupakan perempuan yang amat cantik dan lembut hati. Anaknya, Utari, juga sama, selalu tersenyum, tenang dan amat jelita.
Nina hanya tahu cerita soal ibu dan neneknya dari orang lain, karena keduanya sudah meninggal saat Nina cukup besar untuk memahami lingkungan di sekitarnya.
Ketika remaja dulu, cerita soal almarhum ibu dan almarhum neneknya selalu membuat amarah di hati Nina menggelegak. Mungkin karena gejolak hormon, ditambah betapa sempurna Hesti dan Utari di mata orang-orang, serta betapa kosongnya hidup Nina tanpa siapa-siapa.
Enin dan Mama mungkin penyayang dan baik hati, tapi apa gunanya... mereka sudah tiada dan aku sendirian di sini...
Jadi sejak mendengar soal Mula dan Gyan, Nina selalu menganggap hidup kedua tantenya itu yang paling ideal, dan mereka nyata... masih hidup... bisa diteladani.
Dibuang dari keluarga seperti ancaman kakeknya mungkin terdengar mengerikan, tapi membuang diri sendiri terasa lebih masuk akal... masih ada waktu untuk berjalan di kaki sendiri.
Dan setelah dua hari dirundung kekhawatiran setelah menerima telepon dari Gaza, Nina akhirnya tidak tahan lagi. Dia mengajak Aisha, pengasuh Aisha berkemas, mengambil cuti seminggu dari kerjaannya, lalu pergi ke Jakarta.
Nina tak bisa berpikir sendirian, dia harus meminta pendapat dari kedua tantenya.
***
Dengan Aisha duduk di pangkuannya bermain balok kayu, dan Mula dan Gyan duduk di sofa, orang luar mungkin mengira ini hanya sesi tali kasih.
Pada kenyataannya, bagi Nina, ini adalah sesi penghakiman.
Mula tertawa setelah Nina selesai bercerita, "Jadi kamu bilang ke Gaza dan orang kantornya...."
"Rangga," koreksi Nina.
"Jadi kamu bilang ke Gaza dan Rangga kalau Aisha ini anak Hendra..."
Aisha mengangkat kepala mendengar nama ayahnya disebut dan Gyan harus berdehem keras.
"Maksudku, inisial H," kata Mula buru-buru.
Aisha yang meyadari kalau dia salah dengar menunduk dan kembali bermain dengan balok kayu.
"Dan sekarang kamu stres karena soal ini bisa jadi bocor ke telinga atukmu itu? Kamu sampai bela-belain nyetir sendirian ke sini saking parnonya?"
Kalau ada satu kualitas soal Mula yang jarang ditemui dari orang seusianya, itu adalah ketegasan yang tidak bisa ditawar. Mungkin hasil dari mendidik tiga anak lelaki. Mungkin karena darah tidak bohong, dan Mula memang anak Rahmat Rasyidin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...