"Kok Bang Syahdan bolehin sih?" tanya Rangga, dia jalan mondar-mandir di kantor pribadi Syahdan.
Syahdan tidak menjawab pernyataan Rangga. Dia hanya membereskan kertas yang ada di hadapannya, terserak di meja. Kertas-kertas pengunduran diri yang sudah ditandatangani Gaza sejam yang, tumpukan dokumen pendirian perusahaan, akta-akta sembari tetap menyimak Rangga bicara.
"Maksudku, aku paham kalau Bang Gaza mengundurkan diri karena dapat beasiswa dan ingin sekolah lagi di luar negeri... apa namanya... part-time student... full time traveller?"
Kini Syahdan bersandar di kursi kerjanya, menatap Rangga dengan tatapan jemu, seperti kakak pertama yang sudah kuliah melihat adik bungsunya yang masih SD mengomel soal kembang gula.
Seolah Rangga berlebihan karena memikirkan hal-hal sepele.
Rangga meneruskan protesnya. "Kalau ini apa, mengundurkan diri tanpa punya rencana apa-apa? Dia bahkan mau keluar dari mess kita karena merasa sudah nggak berhak lagi tinggal di situ. Memangnya mau tinggal di mana dia?"
Akhirnya Syahdan menegakkan tubuh, lalu kini bertopang dagu menonton Rangga. "Ya mungkin dia sudah cari tempat tinggal yang baru. Dan memangnya kenapa kalau dia tidak punya rencana apa-apa setelah keluar dari sini... mungkin Gaza mau jadi full-time lover, part-time pengangguran."
Rangga amat jarang mendengar Syahdan berkelakar, jadi dia langung berhenti mondar-mandir dan berhenti depan. "Bang, serius, deh...."
Syahdan menggelengkan kepala. "Ya serius lah, masa bercanda. Tapi mau gimana lagi? Gaza sudah memilih. Tadi malam aku sudah bilang ke Gaza dia tak perlu mengundurkan diri. Dia yang sendiri yang berkeras..."
Rangga tergopoh-gopoh duduk di kursi depan meja kerja Syahdan. Matanya kini bersinar optimis. "Jadi Bang Syahdan sudah bilang sama Bang Gaza? Benar?"
Syahdan menegakkan badan dan menatap Rangga. "Aku setuju sama Gaza, memang terlalu beresiko kalau dia tidak mengundurkan diri, saat kita belum mempersiapkan diri... tapi aku berpikir, aku juga tidak mau selalu tersandera Haji Rahmat dan Grup Rahmada. Gimana kalau suatu hari Grup Rahmada jadi penjahat perang, dan karena aku terlalu takut akan kehilangan sumber klien terbesar, aku memilih pura-pura tidak tahu?"
Rangga mengusap dadanya dengan lega. "Aku setuju sih.... aku nggak masalah kita kerja keras dan cari klien lagi asal Bang Gaza dan Mbak Nina bisa bersatu lagi."
Syahdan menatap Rangga dengan pandangan aneh. "Kamu tahu... Gaza juga belum tahu Nina mau balik lagi sama dia atau nggak..."
Seketika, Rangga bangkir dari duduknya, raut wajahnya penuh keterkejutan. "Lho.... terus ngapain pede banget mengundurkan diri... itu mah apanya yang full time lover... full time nguber kali?!"
***
Nina melepas kacamata hitamnya begitu dia melewati gerbang kompleks pemakaman. Di dalam area pemakaman memang agak menyilaukan, tapi kini area luar kompleks lebih banyak pohon peneduh jalan. Nina sempat menoleh ke kiri dan kanan, trotoar yang lebar dengan kios-kios bunga tabur terlihat membentang. Nina akhirnya memilih untuk melangkahkan kakinya ke arah sebelah kiri.
Seingatnya ada kedai kopi mungil di sana. Nina berencana membeli satu gelas americano dingin sebelum dia pulang pakai taksi.
Nina baru berjalan beberapa langkah di trotoar saat dia mendengar suara mesin motor menderu mendekat, lalu terdengar melambat dan berhenti di belakangnya. Otomatis, Nina ikut menoleh ke belakang.
Sebuah motor matik hitam berukuran besar berhenti dua meter dari tempatnya berdiri. Pengendaranya menggunakan helm full-face sehingga sulit dikenali, tapi dari bentuk matanya, dan dari kacamata yang dia kenakan, Nina bisa langsung menebak. "Gaza?" tanya Nina, yang kemudian berjalan beberapa langkah mendekati Gaza.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...