Dua jam kemudian, Rangga kembali ke tenda. Gaza yang saat itu sedang berbaring langsung terduduk, lalu mengenakan kembali kacamata yang sempat dia lepas dan diletakkan di samping kepalanya.
Dua jam sendirian di tenda memang luar biasa membosankan, bahkan dengan ponsel di tangannya, Gaza sudah menggulirkan semua medsosnya hingga tak terhingga, membaca senua berita dari langganan koran digital yang dia ikuti.
Tanpa TV dan komputer, dengan ruang gerak dalam tenda yang terbatas sementara di luar tenda ada mantan pacarnya yang menatapnya dengan pandangan dingin dan penuh tanya, otomatis Gaza hanya bisa menunggu di tenda sampai Rangga pulang.
"Lama," Gaza berdecak.
Rangga nyengir, di tangannya dia membawa gelas kertas dengan uap mengepul. Aroma kopi manis segera tercium dan memenuhi tenda. "Kopi Liong Bulan, Bang, enak..." Rangga mengangsurkan gelas itu pada Gaza.
Gaza menerima dan menyeruputnya pelan. Perutnya yang kosong terasa sedikit perih, jadi Gaza kembali meletakkan gelas kertas itu dan mengambil roti lapis di kotak dekat pintu tenda. "Mau?" tanya Gaza, sambil melemparkan sebungkus roti pada Rangga duluan.
Rangga menerimanya bungkusan roti itu dengan cekatan. Setelah merobek bungkusnya dan memakan roti, Rangga berkata, "Orang di tenda bawah ngajakin kita makan bareng, mereka bawa nasi sama daging suki banyak, segala bawa lettuce ama jamur enoki juga, udah kayak mau buka warung grill.. Lagian satu orang dari mereka pulang sih, jadi makin banyak lebihannya..."
Masih ada roti di dalam mulut Gaza, jadi pipinya terlihat sedikit gembung.
Hanya saja, Gaza langsung berenti mengunyah dan menatap Rangga tajam. "Satu orang pulang?" tanya Gaza. "Siapa?"
Rangga mengedikkan bahu. "Yang tadi istirahat di sini..." Telunjuk Rangga menunjuk ke bawah. "Kayaknya dia pacar--"
Belum selesai Rangga bicara, terdengar suara dering ponselnya. Rangga mengernyitkan dahi saat dia mengambil ponselnya dari kantung jaket. "Mbak Icha?" desis Rangga pelan, lalu menatap Gaza.
Apakah ada notice di grup kantor dan dia terlewat? Tapi sepertinya tidak, karena wajah Gaza juga terlihat mengernyit bingung saat dia mendengar Rangga mengucapkan nama si penelepon.
Seperti kebanyakkan orang yang dipanggil Icha, nama aslinya adalah Annisa, bagian dari pegawai administrasi GSR, tapi bukan sembarang admin. Dia khusus menangani klien terbesar perusahaan mereka, Grup Rahmada.
Ditelepon Annisa di luar jam kerja atau saat hari libur begini seringnya awal dari berita buruk; terakhir kali Rangga menerima telepon dari Annisa bulan lalu pukul setengah sebelas malam, dia, Rangga, Syahdan, dan belasan pekerja GSR lainnya mendadak harus keluar rumah, berhenti makan, atau terpaksa keluar dari bisokop di tengah pemutaran film.
Gaza malah sedang nonton konser musik klasik saat itu.
Di jam-jam ketika maling bersiap berangkat bekerja, puluhan pekerja GSR dan pendiri-pendirinya juga berangkat bekerja, ikut sibuk mencari cucu konglomerat dengan ciri dan identitas seadanya, keliling Jakarta berjam-jam.
Untungnya saat itu si cucu ketemu oleh Gaza, entah bagaimana caranya.
Jadi melihat nama GSR Annisa D. di layar ponselnya sekarang, hati Rangga sedikit kebat-kebit.
"Halo, Mbak Icha," sapa Rangga begitu dia mengangkat panggilan dari Annisa.
"Waalaikumsalam, Mas Rangga," sapa Annisa cepat. "Mas, aku barusan dapat request dari asprinya Haji Rahmat, urgent--"
"Kenapa? Cucunya hilang lagi?" tanya Rangga was-was.
Rangga menatap Gaza. Gaza balik menatap Rangga, pandangannya sulit diartikan. Roti Gaza yang baru dimakan dua gigit, kini dibungkus lagi. Perlahan, Gaza memperbaiki letak kacamatanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...