15. Irreconcilable Differences

8.2K 1K 44
                                    

Pukul lima lewat lima belas sore itu, Nina masih belum selesai membalas email yang seharusnya diselesaikan hari ini. Salah satu keuntungan rumah dekat dengan tempat kerjanya adalah waktunya lebih fleksibel, Aisha bisa datang kapan saja dan main dengannya. Kadang Aisha juga suka mogok makan dan tidak mau disuapi susternya jadi Nina ikut turun tangan membantu.

Saking fleksibelnya, kerjaannya sendiri sering keteteran kalau kelamaan main dengan Aisha.

Tapi Nina meyakinkan dirinya sendiri kalau dia bisa. Dengan fasilitas yang memadai dan banyak bantuan, tantangan Nina dalam merawat Aisha nyaris tidak ada apa-apanya dengan banyak ibu bekerja yang kadang membesarkan anak sambil memompa ASI atau yang kantornya berjarak jauh dari rumah. 

Nina sedang berada di tengah mengetik balasan email dari salah satu pengelola gedung, saat suara ponselnya berbunyi pelan.

Tangan Nina yang berada di atas keyboard berhenti, kepalanya menoleh ke arah ponsel yang ada di samping laptop. 

Panggilan dari nomor yang tidak dia kenal. 

Jam kerja sudah berakhir setengah jam yang lalu dan ini adalah ponsel personalnya. Meski sedikit enggan, Nina memaksakan dirinya menerima panggilan itu.

"Halo?"

Tidak ada suara.

"Halo?" panggil Nina, sekali lagi. Mata Nina melirik ke layar laptop dan kini jemari tangan kirinya mulai menekan tuts keyboard, berusaha menyelesaikan balasan emailnya yang tadi sedang ditulis.

Nina sudah menjauhkan ponselnya dari telinga, tapi kemudian terdengar suara lelaki.

"Nina?"

Tangan Nina berhenti, dan ponselnya kembali dia dekatkan.

"Nina, ini aku..."

Nina takjub dengan cara Gaza membuka percakapan, begitu normal, seolah mereka berdua adalah kenalan yang biasa mengobrol akrab. Yang biasa saling menelepon di akhir hari sepulang kerja.

"Ya, Pak Gaza," kata Nina. "Ada apa?" Suara Nina datar tanpa emosi. 

Dia tidak ingin merasakan apa-apa, karena dia tidak ingin kehadiran Gaza menjadi pemantik emosinya. Entah sedih, entah marah, entah bahagia... Nina tak ingin semuanya.

"Apa kabarmu hari ini?"

Untuk yang ini, Nina ingin tertawa sekencang-kencangnya. Apa Gaza lupa bagaimana pembicaraan terakhir mereka? Saat Gaza memprotes pilihan Nina untuk membiarkan Aisha ada di rumahnya?

"Sampai lima menit yang lalu, baik..." jawab Nina.

Terdengar tawa kering Gaza. "Semua baik-baik saja sampai aku meneleponmu, ya?" tanya Gaza. 

Nina tidak mau keburukan hari ini makin panjang, jadi dia berusaha langsung ke pokok pembicaraan. "Ada apa, Pak Gaza?" tanya Nina. "Rasanya saya tidak meminta bantuan apa-apa hari ini. Atau kakek saya yang meminta bantuan GSR?"

"Ini bukan soal kantorku atau kakekmu," kata Gaza. "Atau, lebih tepatnya, secara tidak langsung, ini menyangkut kantorku dan kakekmu... tapi terutamanya, ini menyangkut soal kamu."

Nina bertopang pipi. Matanya kosong menatap layar komputer. Di luar, langit sudah mulai kemerahan. "Saya rasanya tidak mengerti Pak Gaza bilang apa..."

"Sejak kapan kakekmu mencari Aisha?" tanya Gaza. "Karena ternyata rekan kerjaku beberapa waktu yang lalu sudah ditanya-tanya soal mencari orang?"

Nina termangu. Kalau begini, dia paham maksud Gaza. "Dan rekan kerjamu sudah tahu kalau Aisha ada bersamaku?"

"Kurang lebih begitu."

"Karena kamu yang mengatakannya pada mereka?"

"Rangga yang bilang, tapi itu pun tidak secara langsung. Syahdan yang bisa menebak dengan tepat."

"Oh."

Hening sejenak.

Ketika Gaza bicara, suaranya sarat oleh kemarahan. "Itu saja reaksimu?"

Kini giliran emosi Nina yang tersulut. "Harusnya bagaimana? Marah pada Rangga karena membocorkan keberadaan Aisha? Marah padamu dan teman-temanmu yang terlalu mencintai uang sampai kalian tega menyerahkan infomasi soal Aisha ke kakekku untuk ditukar dengan uang?"

"Sampai saat ini, kakekmu belum tahu! Menurutmu kenapa aku meneleponmu sore ini?!"

"Ya.... tapi cepat atau lambat, Atuk akan tahu!" bentak Nina, dia sampai berdiri dan kursi yang sedang diduduki bergeser ke belakang.

Nina menyesal karena dia begitu terbuka soal Aisha dan identitasnya, tapi itu karena dia mengira info itu akan aman bersama Rangga dan Gaza. Tapi penyesalan sudah tidak ada gunanya dan yang bisa Nina pikirkan hanya langkah selanjutnya...

Nina menghela napas, berusaha menekan emosinya. "Aku menghargai kamu memberitahuku soal ini, sungguh. Tak masalah.... tapi lain kali, coba tinjau ulang moral kalian sebagai perusahaan yang bergerak di bidang keamanan kalau privasi klien bisa diinjak-injak seperti ini. Percayalah padaku, pada akhirnya, uang hanyalah sekedar.... uang."

Terdengar tawa sinis Gaza. "Cuma orang kaya macam kamu yang bisa bilang kalau uang sekadar uang... bagi orang biasa seperti aku, uang bisa berarti segalanya."

Nina mengangguk kuat-kuat meski dia tahu Gaza tak bisa melihatnya. "Oke, Gaza, kalau gitu kudoakan supaya kamu dapat uang sebanyak-banyaknya."

"Nina..." erang Gaza frustrasi. "Kenapa kita jadi bertengkar begini?"

"Entahlah, mungkin kita memang sebaiknya berhenti saling mencampuri urusan masing-masing. Karena tiap kali kamu mengurusi urusan pribadiku, entah mengapa darahku rasanya mendidih," jawab Nina enteng. "Kalau begitu, selamat malam, Pak Gaza..."

"Nina.." panggil Gaza. "Kalau kamu butuh apa-apa, hubungi aku...."

Nina terdiam, sebelum menjawab, "Tidak mau."

"Nina..."

"Aku masih ingat terakhir kali kamu bilang begitu, dan akhirnya apa? Cuma omongan saja..." jawab Nina. "Kalau cuma ngomong sih gampang, Aisha juga bisa ngomong waktu dia umurnya baru satu setengah tahun."

Tanpa menunggu jawaban dari Gaza, Nina langsung menutup panggilan itu, lalu mematikan ponsel.

Segera setelahnya, Nina kembali meneruskan menulis email yang tadi sempat terhenti, menolak memikirkan pembicaraannya dengan Gaza.

*** 









Love SickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang