Rangga sedang duduk santai di lantai tiga, lantai paling tinggi di rukan mereka. Dia sedang main game di ponselnya, saat Syahdan naik dan memanggil namanya, bahkan saat Syahdan masih menaiki tangga.
"Rangga?" panggil Syahdan, dia memasuki ruangan itu. Suara Syahdan agak bindeng, dan hidungnya kemerahan karena pilek.
Rangga yang tadinya setengah duduk setengah rebah bangkit dari sofanya. "Bang... pilek? Kok masuk, nggak ambil cuti?"
"Maunya sih..." Syahdan tersenyum kecil. Syahdan mendekati Rangga lalu nyaris bersamaan, kedua lelaki itu duduk di sofa. "Kemarin akhirnya kamu yang jemput cucunya Haji Rahmat di Mandalawangi?" tanya Syahdan, segera setelah mereka duduk.
"Iya, Bang... Yang Mbak Nina itu kan?" Rangga memastikan.
Syahdan mengangguk. "Lancar semua?"
"Aman lah, Bang. Pas banget, aku lagi kemah di situ juga sama Bang Gaza. Jadi cepet jemputnya juga," terang Rangga.
"Oh..."
"Ntar dulu, kita ngobrol begini Bang Gaza bakal tahu nggak ya..." Secara refleks, Rangga mendongak ke arah CCTV di ujung lantai. Benda bulat warna putih dan hitam transparan itu bertengger, lampu kecil warna hijau berkedip-kedip dalam tempo lambat dan monoton.
Syahdan mendengus. "Ya nggak bakal, lah... Kecuali kalau dia cek rekaman CCTV, atau malah kalau dia kurang kerjaan banget mantau kita dari CCTV." Sayhdan ikut menoleh ke CCTV di sudut ruangan, lalu menatap Rangga lagi. "Memangnya kenapa kalau Gaza tahu?" tanya Syahdan.
"Nggak kenapa-kenapa sih Bang, cuma..." Rangga menggaruk tengkuknya. "Bukan gitu... Bang Syahdan tahu nggak, sebenarnya Bang Gaza--"
"Ya?"
Rangga meringis lagi. "Nggak jadi deh, deh."
Syahdan jelas tak terlalu penasaran dengan apa yang tak jadi diungkapkan Rangga, karena dia dengan santai membelokkan kembali pembicaraan.
"Kemarin antar Mbak Nina sampai ke rumahnya kan?" tanya Syahdan.
Rangga mengangguk. "Iya, rumahnya di semacam kompleks pabrik pembungaan gitu. Tunggu dulu, istilah pabrik juga sebenarnya kurang tepat. Apa ya tepatnya... Pokoknya kayak lahan luas yang banyak greenhouse gitu di dalamnya."
"Siapa aja yang ada di rumahnya?" tanya Syahdan, sambil menelengkan kepala.
Rangga tertegun sejenak. Rangga tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi pertanyaan Syahdan yang ini membuatnya agak sedikit berdebar--seperti khawatir, bahwa pertanyaan Syahdan yang selanjutkan akan membuat posisi Rangga menjadi sulit.
Jadi dalam rangka mengulur waktu, Syahdan pura-pura bertanya balik, "Maksudnya gimana nih, Bang?"
"Ada anak kecil yang namanya Aisha nggak di sana?" Syahdan mengeluarkan ponsel di kantong kemejanya, membuka kunci layar dan mengetuk beberapa kali, sebelum mengangsurkan ponselnya di depan Rangga, menunjukkan satu foto di galerinya. "Mukanya kayak gini?"
Rangga menatap foto yang ditunjukkan Syahdan itu dan bergumam pelan, "Waduh."
Syahdan menarik kembali ponselnya, dan mengunci layar, lalu sambil memasukkan ponselnya ke saku, Syahdan berkata, "Ok, terima kasih untuk informasinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...