20. The Truth We Owe To Our Friends

8.2K 1K 47
                                    

Gaza selalu berempati pada Syahdan.

Sungguh.

Gaza memahami kalau jadi Syahdan tak mudah. Usia mereka mungkin sebaya, namun Syahdan jelas menanggung lebih banyak beban karena tanggung jawab di pengembangan bisnis perusahaan.

Pegawai mereka mencapai 120 orang tahun ini, menggantungkan hidup pada keberlangsungan GSR--uang sekolah anak, biaya sehari-hari, cicilan rumah dan kendaraan. Sejumlah 120 orang dan keluarga mereka bergantung pada kemampuan Syahdan, Gaza dan Rangga untuk tetap bijaksana dalam menjalankan perusahaan.

Untuk tidak gegabah, ceroboh atau bersikap kekanakan.

Untuk selalu memikirkan kepentingan yang lebih besar--kepentingan GSR--dibandingkan kepentingan pribadi.

Sebelum jadi dua lelaki berusia tiga puluhan yang getir, Gaza dan Syahdan pernah jadi lelaki muda berusia dua puluhan. Punya mimpi dan semangat berkobar, menginginkan perubahan--entah perubahan pada nasib atau pada dunia.

Gaza tidak pernah menyesal hubungannya dengan Nina kandas.

Gaza sendiri yang memilih menghancurkan hati gadis itu. Dia sepenuhnya sadar dengan yang dia lakukan. Tak ada yang memaksanya atau mengalungkan celurit di lehernya.

Kalau dia harus kembali ke masa lalu, Gaza akan tetap memilih melakukan hal yang sama tanpa ragu.

"Rangga, kurasa ada yang harus kamu ketahui soal yang terjadi di awal-awal pembentukan GnS..."

Saat mendengar kata-kata itu dari mulut Syahdan, Gaza yang sedang duduk langsung berdiri. Matanya bersirobok dengan Syahdan, yang kini berhenti berjalan, balik menatap Gaza dengan tajam.

Gaza sudah memilih meninggalkan Nina. Nina ada di masa lalunya. Nina akan tetap di sana dan Gaza akan memastikannya tetap begitu. Gaza tidak akan mengizinkan siapa pun membawa-bawa nama Nina lagi untuk dihubungkan dengan masa kini.

"Rangga tidak perlu tahu apa yang terjadi saat itu," tegas Gaza.

Gaza tidak tahu Syahdan akan memulai ceritanya dari mana, tapi dia tidak mau ambil risiko. Bagi Gaza sendiri, kata-kata 'awal pembentukan GnS' sudah membunyikan alarm sendiri di kepalanya.

Hari-hari paling bahagia dan hari-hari paling menderitanya ada di sana, di 'awal pembentukan GnS'.

Melihat Gaza dan Syahdan berdiri dan adu tatap, Rangga sontak ikut berdiri dan berusaha mendekat, tapi kemudian tidak jadi. Kini, posisi Gaza, Syahdan dan Rangga membentuk segitiga. Satu orang bisa melihat dua lainnya saat menoleh ke kanan atau kiri. Jarum jam di jam dinding berdetak dan hembusan AC terasa jadi lebih dingin.

Syahdan menatap Gaza tanpa berkedip. "Rangga perlu tahu apa yang terjadi. Kalau kamu tidak mau aku yang bercerita, kamu bisa bercerita pada Rangga sekarang."

Kepala Gaza rasanya seperti berputar. "Cerita soal apa?" tanya Gaza. Dia lalu menoleh pada Rangga. "Kamu merasa kamu harus tahu apa yang terjadi pada masa itu?" tanya Gaza, kali ini pada Rangga.

Rangga menatap Gaza. Rangga selalu ingin menyenangkan hati para senior-seniornya, selalu ingin diterima, tapi kalau sudah urusan bisnis, Rangga bisa bersikap tegas dan profesional.

Jadi alih-alih berusaha menenangkan Gaza, Rangga balik bertanya. "Apa yang terjadi di masa lalu ada pengaruhnya dengan masa sekarang?"

Syahdan yang menjawab, "Tidak ada pengaruhnya, asalkan Gaza tidak terus-terusan melibatkan diri dengan Nina. Masalahnya, kini Gaza sudah hilang akal dan aku khawatir cuma tinggal menunggu waktu sebelum hubungannya dengan Nina membawa masalah untuk kita...."

Gaza menggertakkan gerahamnya dan menoleh pada Syahdan. "Hubunganku dengan Nina? Kalau kamu lupa, aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya."

Syahdan tertawa kecil. "Aku benar-benar ingin tahu soal apa yang terjadi di Selabintana, aku tidak akan mengajak Rangga bicara di sini.... tahu persis kamu punya akses pada CCTV di seluruh kantor ini." Syahdan melirik ke sudut ruangan, ke kamera CCTV. "Aku hanya ingin mengujimu. Dan melihat yang terjadi hari ini, kamu jelas gagal dalam ujian..."

Love SickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang