12. Inexplicable Sense of Sadness

8.5K 1.2K 133
                                    

Lalu, semua terasa masuk akal bagi Gaza.

Setelah kekagetannya berlalu... setelah keinginan untuk menekan pedal rem dan membanting setir ke kiri pudar... setelah kekosoangan di kepalanya mereda, semuanya jadi terasa masuk akal bagi Gaza.

Sejak dia mendengar Nina kembali ke Indonesia tahun lalu, Gaza mengira dia akan mendapat berondongan missed call dan rentetan pesan masuk ke WhatsApp dari Nina, meminta mereka bertemu...

Tapi ponselnya senyap saja.

Seolah ada sesuatu, seseorang, yang telah memberi ketenangan pada Nina sehingga gadis itu tak lagi penuh semangat dan meledak-ledak seperti dulu.

Pernah sekali Gaza bertanya pada Syahdan, apa benar Nina sudah pulang? Apa Nina sudah benar-benar di Indonesia?

Syahdan hanya menatap Gaza dengan tatapan kosong yang sedikit bercampur rasa kasihan dan menjawab, Tentu saja, aku sendiri yang menjemputnya di bandara. Tapi tenang, Nina sama sekali tidak menanyakanmu...

Beberapa minggu lalu, saat Gaza dan Nina pertama kali bertemu lagi setelah pertemuan terakhir mereka tahun lalu, ketenangan yang sama juga terlihat dari gerak-gerik Nina. Dia bahkan tidak menanyakan soal Riris di luar pertanyaan sopan santun belaka.

Pilihan Nina hari untuk pulang dan tak memaksakan diri untuk berkemah, juga sebuah keputusan yang amat dewasa dan masuk akal, dan Gaza menyadari dia merasa senang dengan keputusan itu...

Semua perubahan Nina, kini jadi terasa masuk akal.

Semua kedewasaan Nina, disebabkan karena kini Nina tak hidup untuk dirinya sendiri.

Tak ada lagi Nina yang keras kepala, yang menangis, memaksa, merengek, merajuk, dan bertindak bodoh.

Aku tidak akan menyerah, jadi kamu juga jangan menyerah... Kita pasti bisa berjuang.

Semua ini baru akan selesai kalau kamu bilang kamu tak mau bersamaku lagi... Bilang, Gaza... Kalau memang kamu tidak mau aku lagi... Bilang...!!!

Kata-kata Nina di pertengkaran terakhir mereka masih terngiang di telinga Gaza seolah baru terjadi kemarin.

Gaza juga masih ingat apa yang dia katakan pada Nina. Mungkin sampai mati, Gaza tidak akan lupa.

Aku capek, Nina. Aku hanya ingin hidup tenang. Maaf, tapi itu tidak akan bisa kudapat kalau aku masih bersamamu...

Malam itu, untuk pertama kalinya Nina memalingkan wajahnya, menyembunyikan tangis dari Gaza.

Malam itu, untuk pertama kalinya Nina pulang naik taksi dan Gaza membiarkannya.

Malam itu, terakhir kalinya Gaza melihat Nina.

Bulan depannya, Nina terbang ke Thailand, dan mulai kuliah di sana dan Gaza tak pernah melihatnya lagi...

***

"Wah... jadi Mbak Nina sudah punya anak?"

Gaza ingin meremas bibir Rangga yang langsung bertanya pada Nina, segera setelah Nina mengakhiri percakapannya di ponsel.

Sayangnya kedua tangannya sedang memegang setir, jadi Gaza hanya bisa menegur Rangga. "Pertanyaan itu terlalu pribadi, Pak Rangga..."

Rangga menoleh ke Gaza, sambil bibirnya membentuk huruf O. "Iya juga," kata Rangga, dan menoleh ke Nina. "Maaf, Bu Nina..."

Gaza memaksakan diri untuk menatap ke jalan lintas kabupaten di depannya, dengan penerangan lampu jalan yang seadanya. Kalau Gaza tidak punya kendali diri yang kuat, dia pasti akan melirik Nina lagi menggunakan spion tengah.

Love SickTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang