Gaza menatap Nina dengan cermat, lalu melangkah maju.
Ada titik air di sudut Nina, seperti habis menangis. Kelopak mata dan area mata bawah gadis itu sedikit bengkak, seperti orang yang kelelahan.
Tapi itu pasti cuma make-up... Riasan yang memberi kesan seseorang habis menangis dan dalam keadaan memprihatinkan?
Gaza pernah melihat Nina melakukannya--Nina mewarnai bagian dalam bibirnya dan membiarkan bagian terluarnya pucat, memberi kesan seperti kena panas dalam. Terlihat memprihatinkan, Gaza sampai menawarkan diri untuk membelikan kelapa hijau muda sebagai obat.
Gaza ingat Nina tertawa sampai jatuh terduduk di lantai saat gadis itu mendengar tawaran Gaza.
Nina bilang, itu namanya ombre lips, bukan riasan panas dalam.
Jadi kali ini, Gaza menekan keinginannya untuk bertanya soal keadaan Nina. Yang dia ingin ketahui cuma satu hal saja.
Nina menatap Gaza. "Apa masalahmu kalau ponselku mati?" tanya Nina dengan suara pelan.
"Aku jadi tak bisa menghubungimu."
"Kita tak saling menghubungi selama lima tahun... kenapa aku baru dengar protes ini sekarang?"
Dari ekor matanya, Gaza bisa melihat dua perempuan yang tadi menuruni tangga bersama Nina sudah mendekati mereka, dengan Syahdan menyusul di belakangnya.
Kesempatan bagi Gaza untuk mendapatkan jawaban dari Nina menyempit setiap detiknya. Jadi daripada terus meladeni bantahan dari Nina, Gaza berusaha berfokus pada solusi.
"Apa kamu punya nomer ponsel yang lain? Yang pribadi? Boleh aku minta?" bisik Gaza.
Nina hanya menautkan alis sebagai jawabannya, lalu menjawab dengan nada berbisik yang sama, "Minggir, Gaza."
Gaza bergeming di tempatnya. "Untuk apa menemui Syahdan--"
Sebuah suara memotong ucapan Gaza. "Selamat malam,Pak Gaza."
Yang tadinya ingin Gaza katakan pada Nina seketika ditelannya kembali. Gaza seketika ingin menegakkan tubuh tapi dia baru menyadari kalau wajahnya terlalu dekat dengan wajah Nina, kalau dipaksakan kacamatanya akan menabrak dahi Nina saat dia menegakkan tubuh.
Akhirnya, Gaza mundur satu langkah dan menegakkan tubuh, lalu mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Seperti orang yang baru kesurupan dan kini sadar. Semua mata di ruangan itu memandangnya.
Lia malah terang-terangan menatap Gaza dengan mata membelalak, satu tangannya masih memegang gelas kertas, satu tangannya membekap mulutnya sendiri. Lia tidak pernah melihat pemandangan yang barusan dia lihat; melihat Gaza berlari dari sampingnya dan secepat kilat menghadang seseorang. Bukan cuma seseorang, tapi klien! Dan klien bukan sembarang klien pula!
Gaza memperbaiki letak kacamatanya dan menatap perempuan yang tadi menyapanya. "Selamat malam Ibu," kata Gaza sembari mengangguk, dan mengulurkan tangan.
Nina memperbaiki letak tali tasnya di bahu dan minggir. Kini Gaza jadi langsung menghadap Mula, Gyan dan Syahdan.
Mula menjabat tangan Gaza dengan genggaman yang mantap. "Perkenalkan, saya Mula." Mula lalu menoleh ke arah perempuan di sampingnya. "Ini Gyan, saudari saya."
Gyan tersenyum dan menggangguk. "Halo, Pak Gaza. Apa kabarnya... baik?"
"Bu Gyan, kabar saya baik... semoga Ibu juga sama," Gaza tersenyum tipis.
"Baik dong, tapi kebetulan saya mau keluar nih. Saya boleh kan lewat?" tanya Gyan dengan senyum ramah, meski perkataannya jelas menyindir posisi berdiri Gaza yang masih menghalangi pintu.
Gaza masih belum berniat beranjak. Dia melirik Nina tapi Nina sedang menunduk dan memainkan ujung sepatunya.
Gaza akhirnya tak punya pilihan lain. Dengan senyum hambar, Gaza menepi. Dia bahkan menarik handel pintu dan menahannya agar pintu tetap terbuka. Mula keluar pertama, sambil mengangguk pada Gaza. Gyan keluar selanjutnya, dan melakukan hal yang sama, mengangguk pada Gaza.
Gaza menatap ke seberangnya, ke arah Nina. Kini tersisa Nina dan Syahdan. Dengan tangannya, Syahdan mempersilakan Nina maju duluan. "Mbak Nina?" kata Syahdan.
Nina lalu menatap Gaza, sebelum menatap Syahdan. "Pak Syahdan, silakan duluan..."
Syahdan melirik ke arah Gaza sebelum berjalan keluar tanpa mengatakan apa-apa.
Nina lalu maju. Gaza mengira Nina akan belok dan keluar, tapi kemudian Nina tetap berjalan maju, dan baru berhenti setelah gadis itu hanya dua langkah dari hadapan Gaza. Tanpa melepaskan tatapannya dari wajah Gaza, Nina mengulurkan tangan dan menggenggam handel pintu kaca yang masih dipegang Gaza.
Menggenggamnya tepat di tangan Gaza.
Gaza mengerutkan keningnya, terkejut.
Refleks, Gaza berusaha menarik tangannya karena mengira Nina tak sengaja. Telapak tangan Nina terasa dingin dan lembut.
Tapi saat Gaza menarik tangannya, Nina mempererat genggamannya, menolak melepaskan Gaza. Kini, Nina memajukan wajahnya.
"Kenapa, Gaza? Mau lari kemana? Bukannya kamu mau tahu kemana saja aku tiga hari ini? Mau tahu nomer ponsel personalku? Mau tahu apa urusanku di sini?" tanya Nina. Setelah berkata begitu, Nina melepaskan genggaman tangannya, lalu balik badan dan berjalan keluar dari pintu.
Gaza baru menyadari dia menahan napasnya. Kini menyadari Nina sudah keluar, Gaza bergegas menyusulnya.
***
Kini, selain mobil HRV putih dan mobil Gaza, ada satu lagi mobil Fortuner yang terparkir di depan rukan. Seorang lelaki paruh baya kini sedang menggendong Aisha, dikelilingi Gyan, Mula dan Syahdan. Aisha yang sedang diajak bicara oleh orang-orang dewasa itu menyadari kedatangan Nina dan melambaikan tangan.
Dengan senyum lebar, Aisha menjerit senang, "Mama Nina, pulang...!!"
Nina mempercepat langkahnya. "Hai Sayang, Mama pulang..." kata Nina, sembari membuka pelukannya.
Aisha menggeliat dari gendongan pria paruh baya itu, minta diturunkan. Aisha lalu berlari dan melompat ke pelukan Nina.
"Tuh, nanyain terus, kangen katanya," kata si pria paruh baya, yang sepertinya merupakan suami dari Mula, karena begitu tangannya bebas, dia langsung merangkul bahu Mula.
Gaza berhenti berjalan. Kalau dia melangkah lagi, rasanya akan seperti memasuki ruang pribadi keluarga lain.
Tapi kemudian Aisha yang menyadari kehadiran Gaza. Gaza masih ingat betapa dia pura-pura tak melihat lambaian tangan Aisha saat dia pergi dari rumah Nina di Selabintana. Tapi Aisha dengan amat manisnya tersenyum dan melambaikan tangan pada Gaza.
"Om, ketemu Om..." kata Aisha.
Gaza menelan ludah, merasa agak tersentuh. Aisha sebenarnya terlihat seperti di akhir masa balitanya dan seharusnya bisa bicara dengan kalimat yang lebih lengkap. Tapi sepertinya Aisha memang baru hanya bicara dengan kalimat yang patah-patah.
Meski pendapat Gaza soal Aisha masih sama--akan lebih baik kalau Nina tak melibatkan diri dengan urusan Aisha--tapi kali ini Gaza melunak, balas tersenyum dan melambaikan tangan pada Aisha. "Hai... Aisha..." kata Gaza.
Nina menoleh ke belakang dan menatap Gaza, lalu menatap Aisha sambil menyisir rambut anak itu. "Aisha, kalau habis ini Mama Nina pergi lagi nggak apa kan? Yang penting Aisha udah lihat Mama kan malam ini? Nanti pulang sama Opa Mula dan Opa Obin, terus bobo sama Sus Elin kayak biasa ya?"
Aisha menelengkan kepala. "Memangnya Mama mau kemana?"
"Mama masih pergi sebentar sama Om Gaza."
"Denganku?" tanya Gaza bingung.
Nina menoleh ke arah Gaza dengan tatapan kesal.
"Maksudku, kamu tidak bilang apa-apa tadi dan aku masih ada meeting--"
"Pak Gaza..." panggil Syahdan, yang masih berdiri bersama Mula, Giyan dan Robin di dekat mobil-mobil yang terparkir. "Kalau Pak Gaza malam ini ada keperluan, tidak apa-apa, biar nanti saya yang berangkat meeting..."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...