Nina mengira Gaza akan masuk lagi ke gedung apartemen untuk mengambil mobilnya, tapi nyatanya Gaza berjalan menyusuri teras ruko.
Matahari pukul dua siang sedang panas dan begitu terangnya, Nina merasa matanya pedih dan berbayang putih. Sekarang Nina sudah terlalu kenyang setelah sebelumnya terlalu lapar. Tapi dia juga terlalu letih, dan suasana terlalu panas serta halaman parkir apartemen ini terlalu gersang.
Jadi Nina malas bertanya pada Gaza dan memutuskan untuk mengikuti Gaza saja.
"Aku bawa motor ke sini," kata Gaza setelah mereka berjalan bersisian beberapa saat.
Nina menoleh ke arah Gaza yang sedang berjalan di sampingnya. "Oh," katanya pendek. "Oke."
"Oke apanya? Untuk kita nanti akan aku panggilkan taksi."
Nina berhenti berjalan. Gaza juga ikut berhenti.
"Gimana maksudnya?" tanya Nina, kesulitan mencerna kalimat itu.
Gaza menunjukkan layar ponselnya. "Aku sudah memesan taksi, datang tujuh menit lagi. Sebaiknya kita jalan sekarang ke area pick-up," kata Gaza sembari berjalan.
Nina membiarkan Gaza berjalan beberapa langkah sebelum menyusul. "Pesan taksinya cuma satu?"
"Aku akan mengantarmu sampai ke rumah salah satu tantemu, yang Aisha dan susternya juga ada di sana. Yang mana?"
"Tante Mula..." kata Nina. Mereka berjalan dengan berbaris di teras ruko-ruko. Dari alur sebaliknya, orang-orang berjalan ke arah yang berlawanan.
"Ya," kata Gaza, sedikit menoleh ke arah Nina sambil tetap berjalan. "Ke situ, ke rumah Bu Mula."
"Aku nggak usah diantar, bisa pulang sendiri."
Gaza berhenti berjalan begitu tiba-tiba. Refleks Nina terlalu lambat dan wajahnya berakhir menabrak punggung Gaza yang terasa keras karena terlalu berotot.
Nina mengaduh dan mengusap hidungnya.
Gaza yang sudah berhenti berjalan kini balik badan menatap Nina. Alis Gaza bertaut. "Nggak bisa. Terakhir kali kamu pulang sendirian naik taksi, lalu kamu hilang berjam-jam...."
Nina ingin bilang kalau dia bisa saja hilang berbulan-bulan dan itu bukan urusan Gaza. Tapi kemudian dia ingat kalau dia sudah bilang itu kemarin dan sudah banyak hal yang terjadi sejak kemarin.
Misalnya, Nina sudah mengatakan omong kosong tentang yang kita punya hanya cinta.
Misalnya, Gaza sudah memeluknya.
Tapi kalau cuma ngomong, anak umur dua tahun juga bisa ngomong. Kalau cuma pelukan, bahkan binatang seperti panda pun bisa saling memeluk.
Nina dan Gaza sudah dewasa. Apa yang terjadi selama 24 jam terakhir ini tidak mengubah apa-apa di antara mereka.
Perasaan dikhianati akan selalu mendidih pelan di dalam relung hati Nina tiap dia melihat Gaza. Dan mungkin, Gaza juga selalu merasakan kemasygulan tiap kali dia bertemu Nina dan mendapati Nina selalu berada dalam posisi rentan yang bisa membuat kakeknya murka. Melindungi Rindang, meladeni mantan Rindang, mengasuh anak dari cucu yang terbuang, menemui si cucu yang terbuang....
Tidak ada musuh abadi. Yang ada hanya kepentingan abadi. Memastikan Gaza ada di pihaknya, merski ada di pihaknya sambil ngomel, jauh lebih penting daripada mengambil posisi bersebrangan.
Jadi meskipun keinginan kuat untuk membantah itu sudah berakar lumayan kuat, kali ini, Nina akan berusaha untuk menoleransi Gaza.
Nina, yang selalu bertindak sesuai keinginan hati, kali ini membiarkan Gaza memutuskan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...