"Aku mau tanya..."
"Habiskan dulu makanannya, baru ngobrol."
Nina menatap Gaza lalu menunduk menatap piring di hadapannya.
Nina sudah bilang dia lapar dan ingin makan, tapi Gaza menolak diajak meninggalkan kompleks apartemen ini.
Malah, Gaza mengajak Nina ke area komersial di lantai dasar menara apartemen. Lantai dasar khusu ruko-ruko yang diisi minimarket, restoran, makanan cepat saji, laundry. Gaza meminta Nina memilih makan di salah satu tempat yang ada di sini dan Nina memutuskan kalau dia akan makan nasi rames.
Jadi di sinilah mereka. Duduk berhadapan, dipisahkan meja persegi kecil, di dalam kedai makan yang sepi dan terang benderang. Satu-satunya sumber suara hanya TV yang diletakkan tinggi di tembok dan menyetel acara TransTV.
Nina menatap piringnya--nasi putih berlauk tempe kering, capcay dan telur balado. Dia mencicip satu sendok dan mengunyah. Setelah menelan, Nina mengangkat wajah dan Gaza sedang menatapnya.
Nina meletakkan sendok, meraih gelas teh hangat menyesap isinya, lalu menatap Gaza, "Tanya satu aja, boleh kan... "
Gaza menatap Nina lurus-lurus, sebelum akhirnya menghela napas dan menjawab, "Okelah."
Nina lalu bertanya, "Perempuan yang waktu itu... namanya siapa?"
Pertanyaan itu tidak disangka-sangka Gaza sampai dia mematung sejenak. Setelah keterkejutannya memudar, Gaza memperbaiki posisi kacamatanya dan bertanya pelan, "Yang mana?"
"Saking banyaknya perempuan ya?" tanya Nina datar, sembari meneruskan makannnya.
"Nina...." kata Gaza dengan nada menegur.
Nina menatap Gaza, dan setelah selesai mengunyah dan menelan makanan, dia baru menjawab, "Yang ada di mobil kamu.... waktu kamu jemput aku dan Rindang."
"Namanya Riris," jawab Gaza, sorot matanya awas, berusaha mengawasi perubahan raut muka Nina.
"Oh... Riris," jawab Nina sambil mengangguk.
"Kenapa emangnya?" tanya Gaza, tidak tahan untuk bertanya balik.
"Ntar aja aku jawabnya.... kata kamu aku harus ngabisin makanan dulu, baru ngobrol."
Alis Gaza bertaut. "Udah pinter banget ya jawabnya."
"Dari dulu juga udah pinter," balas Nina, sembari mengedarkan pandangan ke kedai makan yang sepi itu. "Kenapa kita makan di sini?"
"Kan kamu yang pilih sendiri..."
"Bukan, maksud aku, kenapa aku cuma boleh makan di kompleks apartemen ini? Kan kalau dikasih pilihan makan di luar, aku mau makan sate atau apa gitu yang daging... pusing deh pengen makan daging."
"Urusan kita di sini belum selesai, sementara makan seadanya dulu kalau sudah beres nanti aku antar makan daging..."
"Apanya yang belum selesai?"
"Aku harus bertemu dengan orang yang membawamu ke sini... Aku perlu bicara."
Nina sudah mengangkat sendoknya ke mulut, tapi saat mendengar ucapan Gaza, dia kembali menurunkan sendok nasinya dan menelengkan kepala. "Kamu tanya ini sebagai orang GSR.... atau... apa?"
Gaza melipat tangan di meja dan memajukan wajahnya. "Kamu mau dengar jawaban yang bagaimana?"
Nina mengedikkan bahu dan mengambil gelas tehnya, meneguk isinya sambil berpikir. "Hmmm... aku mau dengar kamu mengkhawatirkan aku sepanjang hari, kamu hilang akal dan tidak bisa berpikir jernih saat tidak tahu keberadaanku... jadi kamu ingin menemui orang yang membawaku ini untuk marah-marah dan meluapkan perasaan frustrasi..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...