Menjelang pukul setengah dua belas malam, Nina turun dari kamarnya di lantai dua ke ruang tengah sambil membawa selimut. Dia menuruni tangga dengan hati-hati lalu berjalan dengan melintasi ruang tengah yang luas itu, menuju sofa besar tempat Gaza tidur.
Cahaya lampu temaram dari lampu berdiri dekat situ cukup menerangi wajah Gaza yang terpejam. Selimut tipis menutupi tubuh Gaza dari ujung kaki hingga dagu, mata Gaza terpejam.
"Gaza." Nina memanggil pelan.
Gaza tidak bergerak, jadi Nina duduk bersila di depan sofa, kini wajahnya sejajar dengan Gaza yang masih terpejam, menatap bulu mata Gaza yang lentik dan panjang.
"Gaza?" panggil Nina sekali lagi.
Pada akhirnya, Nina kembali berdiri. Dia mengibaskan selimut yang dia bawa tadi, yang jauh lebih tebal dari yang kini dipakai Gaza, lalu menggunakannya untuk menutupi badan Gaza.
"Makasih."
Nina menunduk, mata Gaza masih terpejam. "Kamu bangun dari kapan?" tanya Nina.
"Baru saja," kata Gaza, dia membuka mata. "Terima kasih ya," ulang Gaza. "Sudah selesai ngobrol sama Rindang?"
"Sudah dari tadi," jawab Nina. "Terus barusan Tante Ghyan kirim Whatsapp katanya dia dengar kamu batuk-batuk pas dia tadi nemenin Om Theo makan sereal di bawah... Jadi aku diminta bangunin kamu biar kamu masuk kamar tamu." Nina diam sebentar. "Atau atau minimal kasih selimut tambahan ke kamu."
"Duduk dong, ini posisinya kamu berdiri banget sementara aku tiduran gini leherku jadi nyeri," kata Gaza sebelum terbatuk lagi.
"Kalau gitu jangan lihat, lah, merem aja...." balas Nina, tapi kemudian dia duduk bersila di karpet dekat sofa, kini wajah mereka berhadapan. "Kamu sakit apa gimana?"
"Mungkin sumeng aja," kata Gaza pelan. Yang tadinya berbaring miring menghadap Nina, lalu berbaring telentang. Gaza menarik tangannya dari balik selimut dan menempelkan punggung tangannya ke dahi.
"Sumeng itu apa?" tanya Nina, membereskan ujung selimut Gaza yang tadi terkesiap.
Gaza menoleh di bantalnya. "Low fever, nggak demam banget tapi nggak normal juga suhunya..."
"Karena kita tadi kehujanan dan kamu minjemin jaket ke aku?"
"Beberapa hari yang lalu aku sempat nggak enak badan juga dan harus minum obat flu," kata Gaza. "Waktu kamu nginep di apartemen Hendra."
"Ohh..." kata Nina mengangguk pelan.
Selama beberapa saat, tidak ada yang bicara. Nina sudah bergerak sedikit, ingin pamit naik ke kamarnya tapi seolah punya firasat, Gaza membuka percakapan lagi.
"Pak Theo kerja apa kok pulangnya malam banget?" tanya Gaza.
"Kerja di kantor penjualan perangkat lunak," jawab Nina. "Biasanya sih nggak terlalu malam, malah kadang kerja di rumah... Mungkin memang kerjaannya lagi banyak aja."
Gaza mengangguk. "Yang pertama menyadari aku batuk sebenarnya beliau. Pak Theo, maksudku.... terus baru beliau bilang ke Bu Ghyan, katanya suruh Nina bangunin biar aku pindah ke kamar atau kasih selimut tambahan. Mereka makan sereal di sofa sebelah sini jadi aku dengar meskipun mereka ngomongnya pelan-pelan."
Nina menatap Gaza dengan tatapan judes menghakimi. "Jadi sebenarnya kamu tuh udah bangun sejak kapan sih..."
Gaza tertawa kecil melihat ekspresi wajah Nina. "Kan namanya juga orang demam gitu, kebangun-tidur-kebangun mulu sepanjang malam..."
"Kok sekarang ngakunya demam, tadi bilangnya sumeng."
"Beda dikit ah, protes aja sih kamu kayak Bani Israil..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sick
RomanceNina tahu betapa keras kakeknya, H. Rahmat Rasyidin. Pria tua itu hampir bisa menoleransi semua kebrengsekan anak dan cucunya, tapi ada satu pantangan yang tidak bisa ditawar; pasangan mereka--sekadar pacar apalagi calon suami dan istri--harus mele...