36. Seperti Musik

513 61 3
                                    

Pagi ini, aku bangun lebih cepat dari Seokjin. Dia masih tidur dengan nyenyak dan damai. Hari ini adalah akhir pekan, dan tidak ada satupun dari kami yang harus bekerja. Aku mengosongkan semua jadwalku untuk mengunjungi appa, dan kami melakukannya.

Kami telah melalui banyak hal semalam. Dan, Aku membiarkan Seokjin tidur lebih lama karena aku tahu itu adalah saat yang sulit baginya dan juga sulit bagiku.

Aku terus memikirkan bahwa appa entah bagaimana bisa mencegah kematian eomma. Hal itu terus berputar-putar dalam pikiranku sepanjang malam. Aku tahu itu bukan sepenuhnya salah appa. Sepertinya aku hanya mencari seseorang untuk disalahkan.

Mimpi-mimpi tentang eomma telah berhenti sejak aku bertunangan dengan Seokjin. Namun, tadi malam aku melihatnya lagi dan itu sama seperti dulu, kecuali bahwa dia tidak mengatakan sepatah kata pun padaku kali ini.

Aku perlahan bangkit dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi tanpa mengeluarkan suara. Kemudian, aku mandi. Aku menyimpan beberapa barang di rumah Seokjin karena aku sering berkunjung dan menghabiskan waktu di sana. Seokjin juga memiliki barang-barang di rumahku.

Saat aku keluar dari kamar mandi, dia masih tertidur. Dia tidak pernah tidur seperti itu sebelumnya. Dia tidur sangat pulas hari itu.

Aku pergi ke dapur kecil di rumahnya untuk membuat sarapan kami. Aku bukan seorang juru masak yang hebat, tapi aku memiliki beberapa keterampilan. Aku belajar sebagian besar dari Seokjin.

Dengan bahan-bahan yang ada di dapur, pikiranku langsung tertuju untuk membuat telur dadar yang lezat untuk kami berdua. Aku mulai memasak untuk kami dengan penuh semangat. Aku mencampur semua bahan di wajan dan menaruhnya di kompor listrik.

Seokjin benar-benar menentang ide itu ketika aku membeli untuk dirumahnya, tapi aku benar-benar tidak bisa memakai kompor lama miliknya. Aku setuju untuk tidak mengganti apa pun di rumahnya kecuali kompor yang rusak itu.

Aku begitu asyik menggoreng telur dadar hingga aku tidak mendengar seseorang berjalan memasuki dapur. Setelah itu, sepasang lengan melingkari pinggangku. Seokjin tidak mengagetkanku karena dia bergerak dengan lembut. Dia meletakkan kepalanya di bahuku.

"Selamat pagi, tukang tidur. Akhirnya memutuskan untuk berhenti mencintai bantalmu?!" Candaku.

"Kenapa kau tidak membangunkanku?" Sebuah suara serak dan mengantuk yang tidak jelas terdengar di telingaku, dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain.

"Pertama, karena hari ini adalah akhir pekan dan kedua, karena kau terlihat seperti butuh lebih banyak istirahat." Aku menjelaskan dengan bersemangat. Ketika tidak ada jawaban yang keluar dari Seokjin, aku melihat dari balik bahuku dan melihatnya tidur di sana sambil mendengkur pelan.

"Dan sepertinya itu belum cukup." Aku bergumam dan mengguncang bahuku untuk membangunkannya. Dia menguap dan mengusap-usap matanya dengan bahuku seperti bayi yang menggemaskan.

"Sarapan hampir siap. Pergilah mandi dan bangunlah dari tidurmu. Aku akan menunggumu di sini." Aku mengatakan padanya sambil melepaskan pelukannya di pinggangku.

"Baiklah." Dia menghela napas dan berjalan gontai menuju kamarnya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak.

"JANGAN TERTAWA!" Dia berteriak, dan itu hanya membuatku semakin tertawa.

Aku memanggang roti dan menyiapkan meja kecil di dapur. Seokjin muncul setelah beberapa saat dengan kaus merah muda dan celana pendek biru langit.

Rambutnya yang berwarna kecoklatan basah dan berantakan, sebuah pemandangan yang cukup membuatku gila. Meskipun dia adalah tunanganku dan aku telah melihatnya telanjang lebih dari yang bisa dihitung oleh siapa pun, tetap saja itu tidak normal bagiku. Aku selalu terhipnotis oleh tubuhnya yang luar biasa.

Kami duduk dan mulai makan bersama. Seokjin kembali terdiam. Rasa kantuknya hilang dan ingatannya kembali pada apa yang terjadi tadi malam.

"Sayang, aku tahu kau marah pada Taehyung, tapi aku yakin dia punya alasan sendiri. Dan alasannya pasti bukan untuk membuatmu sedih, bukan untuk menambah masalah baru dalam daftar panjang masalah yang kau alami saat itu, kurasa. Dia hanya memikirkan yang terbaik untukmu." Aku tidak bisa membungkam diriku lebih lama lagi.

"Aku punya hak untuk tahu tentang ayahku, Jungkook. Ayahku sendiri!" Dia berkata, memukul-mukul garpu dan pisau di tangannya karena frustasi.

"Ya, benar, sayang, tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang kau memiliki kehidupan yang berbeda, Seokjin. Begitu juga dengan Taehyung. Mari kita selesaikan dan lupakan apa yang terjadi di masa lalu. Jangan biarkan hal itu merusak apa yang kita miliki sekarang." Aku mengucapkannya segera setelah dia selesai berbicara.

Dia menghela nafas panjang dan dalam lalu tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia bahkan tidak menyentuh makanannya sejak saat itu.

"Tidak semudah itu. Mengetahui ayahmu membunuh entah berapa banyak orang demi uang." Dia bergumam dan menusuk makanannya dengan garpu.

"Kau tidak sendirian yang mengetahui hal-hal baru tentang ayahmu. Maksudku... umm.. mengetahui bahwa ayahmu begitu gigih dengan pekerjaannya hingga mengabaikan peringatan dari pembunuh bayaran dan mengirimmu dan ibumu ke dalam jebakan maut, sepertinya itu juga sesuatu! Sepertinya masalahnya selalu ada pada para ayah." Meskipun aku tidak begitu biaa membuat candaan, namun aku mencoba yang terbaik untuk mengubah suasana, dan entah bagaimana, hal itu berhasil.

"Ya, itu pasti karena para ayah!" Seokjin tertawa kecil.

"Tolong bicaralah pada Taehyung, sayang, oke?" Aku memohon padanya, setelah tahu dia sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Baiklah!" Dia memutar matanya ke arahku.

"Dan sekarang pergilah dan keringkan rambutmu. Kau bisa kena flu." Ucapku sambil mengambil piring dan menaruhnya di wastafel, melihat dia sudah tidak makan lagi dan aku juga sudah selesai dengan makananku.

"Oh, ya ampun! Kau terdengar seperti seorang ibu yang pemarah." Seokjin merengek, berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu.

Aku pergi ke lemari es, ingin menuangkan segelas jus untuk diriku sendiri, tapi aku terpeleset di dapur tanpa karpet dan mendarat di bokongku yang malang. Lantainya basah. Itu adalah kesalahanku sendiri saat memasak.

Aku ingin menggerutu, tapi sebuah suara menghentikanku, suara yang baru pertama kali aku dengar; suara yang membuatku ingin jatuh lagi dan lagi, suara tawa Seokjin!

Aku membuatnya tertawa. Aku ingat bagaimana Taehyung menggambarkan hal itu padaku saat kami berada di atap. Itu persis seperti yang dia katakan, aneh tapi indah. Sangat langka dan istimewa seperti dirinya.

"Aku tidak tahu kau bisa sekonyol itu!" Dia datang ke sisiku.

"Ini yang kudapat, bukan uluran tangan!" Aku berpura-pura merajuk, tapi di dalam hati aku sangat senang. Dia memegang tanganku dan membantuku berdiri, lalu memeriksa tubuhku.

"Kau baik-baik saja? Apakah bokongmu baik-baik saja?!" Dia menyentuhnya dan melihat wajahku. Aku hanya bisa meringis.

"Aku baik-baik saja."

"Tapi kau meringis." Dia berkata dengan pelan.

"Ya, itu karena aku baru saja mendarat dengan bokongku dan itu akan butuh beberapa waktu agar rasa sakitnya mereda." Dia menyilangkan tangannya di dadanya dan cemberut padaku.

"Ngomong-ngomong, kau harusnya lebih banyak tertawa. Itu indah saat kau melakukannya." Aku memberi tahunya setelah mengecup bibirnya.

Rasanya seperti ada yang menyiramkan air ke wajahnya ketika dia benar-benar menyadari apa yang telah dia lakukan beberapa saat yang lalu.

"Tidak, itu memalukan." Dia berbisik dengan malu-malu dan menundukkan kepalanya.

"Siapa pun yang mengatakan itu tidak tahu apa-apa tentang seni musik, bukan begitu, sayang?!"

Seokjin memukulku pelan sambil memperdengarkan lagi suara tawanya yang indah.

What is Love? | Kookjin ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang