Bab 1 - Senyum Paling Tulus Adalah Seringai Paling Lebar

115 11 32
                                    

Dentam besi harusnya nyaring menusuk, apalagi dipukul dengan godam buatan kurcaci. Namun, jeritan parau ternyata bisa menang nyaring, terutama jika keluar dari mulut bau para demonstran elf.

Sudah pemandangan lumrah di Grimbolk, melihat orang-orang rupawan berambut panjang, tetapi kelakuannya lebih anarkis dari babi kelaparan. Mereka awalnya hanya membawa tulisan "Elf Cinta Damai", dan jika dibiarkan semenit-dua menit saja, tulisannya akan berubah jadi "Elf itu Tuhan, Kurcaci itu Budak".

Semua kekonyolan ini disebabkan isu rasial yang sama konyolnya. Para elf (bertamengkan kisah masa lalu) menganggap diri mereka pantas diagungkan, dan kurcaci terlalu keras kepala untuk mengakui hal tersebut-menurut mereka. Alhasil, Grimbolk yang dulunya sebuah kota milik elf dan kurcaci, sekarang menjadi kota milik elf atau kurcaci.

"Usir kurcaci dari sini!"

"Grimbolk harus bebas dari tikus-tikus berjenggot!"

"Elf lebih penting!"

Bahkan keledai tak pernah meringkik sesumbang itu. Para kurcaci sudah berusaha mengabaikannya, sungguh. Hanya saja, mereka pasti dipersekusi kalau pura-pura tuli.

Entah sudah berapa banyak kurcaci yang minggat dari Grimbolk gara-gara hal ini. Demonstrasi semakin ganas akhirnya, membuat kaum elf sendiri terpecah-belah karena saling silang-menyilangi. Ada elf yang "elf", ada pula elf yang "kurcaci".

"Pesanan siapa yang sedang kau kerjakan, Will?" Seorang elf rambut putih duduk di depan kurcaci gondrong.

Si kurcaci yang asyik memalu besi langsung terkesiap. Ia menyingkirkan godamnya, dan tersenyum ramah menyambut sang elf.

"Ah, bukan siapa-siapa. Aku hanya berlagak sibuk. Apa yang membawamu kemari, Nat?" ujarnya.

Nat, atau Nathan Southbell adalah golongan elf yang "kurcaci". Maksudnya, ia elf yang memihak kurcaci. Bukan sekedar memihak, bahkan. Dirinya dengan Will (Gideon Willmar) sudah bersahabat sejak belia. Hubungan mereka seolah terselip di belahan dunia lain yang tak kuasa dibisiki oleh iblis-iblis pendengki.

"Aku butuh bantuanmu. Cerobongku tersumbat lagi. Kemarin kucoba perbaiki sendiri, tapi setengah badanku malah tersangkut," timpal Nat.

Will terkekeh. "Andai elf diciptakan sedikit saja lebih kecil, maka kau akan lebih berguna, Nat."

"Ya, dan jika kurcaci sedikit saja lebih tinggi, kalian pasti bisa menampar pipi kami lebih mudah."

Keduanya sontak tertawa keras. Will punya jenggot jingga tebal yang dikepangnya sampai bercabang dua. Ketika tertawa, janggut itu bergetar dan kutu-kutu di baliknya berlarian keluar.

Tak lama setelah obrolan ringan itu, sekelompok demonstran berlalu di depan toko. Salah satu dari mereka melempar batu ke lubang jendela sampai menjatuhkan beberapa pedang di atas rak. Will dan Nat bergidik kaget, kemudian saling tatap.

"Oh, elf-elf itu! Mereka semakin gila," kata Nat.

"Mereka tidak gila, kau yang gila," tukas sang kawan.

"Kenapa aku?"

"Karena, Sahabatku, kaulah satu-satunya elf yang tidak berotak iblis seperti mereka."

Nat tersenyum pahit. Iris birunya bertengger tepat ke sorot mata cokelat Will.

"Terkadang aku merasa malu terlahir sebagai elf. Setidaknya di Grimbolk, harga diri kami tidak ada lagi."

"Sudahlah, Nat." Will menepuk bahu elf itu. "Aku akan memperbaiki cerobongmu nanti malam. Dan, pastikan kau masak kalkun buatku. Kalkun yang paling besar, ya!"

Nat sontak tergelak. "Aku ragu perut kecilmu sanggup mencernanya, Kawanku. Tapi tentu. Akan kusiapkan. Agar bisa melihatmu mati kekenyangan."

"Apa kau bilang?! Hey, coba ulangi sekali lagi!"

Grimbolk Tales Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang