Bab 19 - Setan-Setan Bertelinga Lancip

13 3 18
                                    

Botol tintanya sudah surut, tetapi Percy masih saja betah menulis. Ia duduk di bawah obor, menghadapi buku jurnalnya yang terlihat lebih tebal semenjak pertama kali mengguratkan tinta di sana.

Rambut putih Percy dicemari kilau jingga kemerahan, dari pendar api yang berderik-derik tenang, sementara sebagian ruang di belakangnya tampak gelap. Seakan menjadi satu-satunya pelita dalam kesuraman, mata Percy berbinar membaca setiap lembaran jurnal yang telah mengiringinya sampai ke titik ini.

Anggota komunitas bertambah sebanyak sembilan belas orang. Semuanya elf.

Ladang telah terbebas dari hama. Sayuran bisa ditanam sebentar lagi.

Jadwal melahirkan Suster Nai semakin dekat. Klinik dikelola Emily dan Bulroy untuk sementara.

Aku ingin mengobrol dengan Tuan Will, tetapi ia selalu mengunci diri. Aku takut mengganggunya.

Loner akhirnya bangun setelah hampir dua minggu kritis. Lidahnya rusak, dan mungkin takkan bisa bicara lagi. Ia masih dirawat di klinik.

Begawan Morbit mengangkat Zoe menjadi pengkhutbah muda. Kuharap ia bisa belajar konsep ketuhanan lebih baik.

Tanpa sadar, sepasang lengan keluar dari kegelapan, melingkari leher Percy dan memeluknya begitu erat. Percy spontan terkesiap.

Seorang elf meletakkan dagunya di pundak Percy, seakan mereka sepasang kekasih. Rambut elf itu merah marun, sepanjang punggung. Bagian kiri rambutnya dikepang spiral, sementara bagian kanannya dibiarkan tergerai.

"Lagi nulis apa, Sayang?" bisiknya lembut, sedikit manja.

Bibir Percy terkunci. Keringatnya sontak mengucur deras.

Elf itu terkikik geli, lalu melepaskan dekapannya. Ia mengambil beberapa langkah ke belakang, bersembunyi dalam keremangan, meskipun Percy tahu kalau dirinya tidak mengenakan busana sama sekali—hanya dibalut selimut.

"E-Ester, kurasa kau ha-harus berhenti melakukan itu," ujar Percy panik.

"Kenapa?" Ia tersenyum tipis seraya menaikkan sebelah alis.

"Karena ... itu ... tidak normal." Percy berdiri dan menutup jurnalnya. "Harusnya kau lakukan hal semacam itu pada istrimu, atau pacarmu, mungkin. Tetapi jangan kepadaku ... a-atau lelaki lainnya."

"Maukah kau jadi istriku?" pancing si Elf bernama Ester itu.

Percy langsung menggeleng. "Aku laki-laki. Kau laki-laki. Tidak ada yang bisa jadi istri di antara kita."

"Kita bisa sama-sama jadi suami, asalkan kau mau." Alis Ester tambah naik.

"Kita hanya teman sekamar."

"Untuk sekarang." Elf kemayu itu tersimpul iseng, kemudian kembali ke tempat tidur.

Percy hanya bisa menghela napas. Ini bukan kali pertama mereka memperdebatkan topik konyol. Sebelumnya, Ester pernah dengan sengaja memeluk Percy ketika tidur. Itu kejadian yang mengerikan baginya. Cukup mengerikan untuk memaksa Percy lebih memilih tidur di lantai selamanya.

Kendati demikian, ia tetap menghormati Ester sebagai sosok yang tangguh. Tingkahnya boleh saja kemayu, atau parasnya yang feminim dengan tahi lalat kecil di bawah mata (seringkali orang lain mengiranya perempuan jika saja tidak mengaku laki-laki). Namun, elf bersuara lembut itu terbukti mampu bertahan hidup sampai detik ini.

Percy ingat saat Kapten C dan kelompoknya bercerita bagaimana mereka menemukan Ester. Di sebelah barat Grimbolk, tepatnya di rumah bordil yang terbengkalai, mereka masuk ke sana untuk menjarah barang-barang.

Grimbolk Tales Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang