Ruben masuk ke dalam hutan. Riak aliran sungai tertangkap oleh telinganya. Namun, mata elf berambut pendek itu masih sibuk melirik ke belakang. Hatinya bertanya-tanya, bagaimana nasib pemilik kapak yang dibawanya sekarang?
Semua ini dimulai dua hari lalu, ketika komite enam menyetujui usul Will untuk melakukan ekspedisi. Madam Ross adalah anggota komunitas yang lebih dulu tahu saat mengobrol dengan Percy.
Wanita itu, dengan liciknya, mengajak Ruben dan elf lain untuk bersekongkol. Target mereka adalah nyawa Will.
Ruben setuju-setuju saja karena sejak masuk komunitas, ia sakit hati melihat kurcaci begitu dihormati. Puncaknya ketika Will diangkat menjadi Kapten, perut Ruben sampai nyeri karena ingin muntah.
Mereka pasti akan mengeroyok Will saat itu juga, seandainya Kapten C bukan pelopor keputusan tersebut. Ruben takut akan diusir dari komunitas, jadi ia dan komplotannya harus bersabar demi mencari cara lain.
Tatkala sedang berdiskusi, Madam Ross memperingati mereka agar berhati-hati dengan Will. Wanita itu, sangat serius, mengatakan bahwa Will adalah kurcaci terkuat yang pernah ditemuinya.
Billie tewas di tangan Will. Loner adalah elf terkuat di sini, sebelum kedatangan Will, dan sekarang ia tak lebih dari sekadar elf cacat. Semua karena ulah Will. Jangan gegabah ketika menghadapinya. Begitulah nasihat yang ditekankan Madam Ross.
Kemudian, sang Madam juga menyampaikan rencananya yang sempat tertunda. Meracuni makanan. Dan, ia mengklaim itulah cara paling efektif untuk melumpuhkan seorang kurcaci tanpa memancing kecurigaan.
Seakan Tuhan mendukung niatan jahat tersebut, di sisi lain, Will justru memilih semua elf pembencinya menjadi kelompok yang berangkat dalam ekspedisi. Ruben heran bukan main. Mengapa kurcaci itu nekat sekali?
Seraya menyeka ujung kapak Will dengan kain, ingatan elf beralis lebat itu terbawa ke peristiwa tadi pagi. Ruben baru sadar kalau dirinya lemah, sampai-sampai butuh seorang kurcaci untuk melindunginya.
Akan tetapi, yang lebih menggoncang kebenciannya adalah sikap Will yang menolong tanpa ragu-ragu. Meskipun kurcaci itu mengomel terlalu kasar, tetapi fakta bahwa Ruben telah diselamatkan tidaklah berubah.
"Aku berhutang budi padanya," gumam Ruben melantur, kemudian spontan membekap mulut. "Bicara apa aku barusan? Bodoh!"
Beberapa saat kemudian, sayup-sayup teriakan rekannya terdengar dari balik pepohonan. Ruben menoleh, memandangi lereng bukit yang gelap, penuh bayang-bayang.
Ia tahu itu bukan teriakan euforia. Rencananya mungkin gagal. Jika memang demikian, artinya mereka harus pakai rencana cadangan. Langsung mengeroyok Will sampai mati. Harus mati.
Jadi, Ruben berhenti membersihkan kapaknya. Pemilik kapak itu takkan ada lagi. Will akan berakhir di sini, bersama para elf yang membencinya.
Sesaat Ruben merenungi aksi busuknya, bunyi tapak kaki berbisik di antara riuhnya riak air. Bukan hanya satu, tetapi beriringan. Geraman buas menyusul kemudian.
Ruben terperanjat, sekelompok undead keluar dari kegelapan hutan, tepat di seberang sungai. Jumlahnya cukup banyak. Mereka sepertinya terpancing oleh suara aliran sungai.
"Sial!" Ruben berusaha kabur.
Kaki elf itu berhenti tatkala dirinya sadar, ketakutannya mesti dihadapi. Percuma jika terus-terusan lari. Cepat atau lambat, momen-momen semacam ini pasti datang.
Ruben menjangkau kapak milik Will, menggenggamnya sekuat mungkin, kendati tertatih-tatih. Para undead bergerak menyeberangi sungai yang memang tidak terlalu dalam. Rahang mereka menganga lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grimbolk Tales
Misterio / SuspensoJudul: Grimbolk Tales Genre: Fantasi, Thriller, Misteri Tag: Zombie, Apocalypse, Aksi, Drama Blurb: Tidak banyak orang yang seberuntung Will. Ia bangun di rumah sahabatnya dengan secangkir pengkhianatan, seporsi luka di punggung, dan asupan katastro...