"A-aku tidak sanggup lagi. Ki-kita harus istirahat." Theo berucap sambil memegang dada. "Na-napasku sesak."
Rombongan Murray sontak berhenti. Pandangan mereka menerawang ke belakang, di balik tembok hujan yang begitu lebat. Para undead masih mengejar.
"Berapa jauh lagi lubang berikutnya?" tanya Murray.
"Se-sekitar dua blok sini. Argh! Oh, astaga! Dadaku ... sakit." Theo mengerang.
Murray segera menyeret elf gemuk itu menuju sebuah rumah terbengkalai. Babel dan yang lain juga ikut menyusul. Mereka masuk ke sana, membiarkan Theo menghirup udara setenang mungkin, sambil sesekali mengawasi kawanan undead.
"Kita tidak bisa lama-lama," kata Murray gusar. "Mereka semakin dekat."
"Aku bisa memimpin." Babel bersuara. "Kau di sini bersama Theo."
Murray spontan menggeleng. "Aku harus memastikan rencana ini berhasil. Anakku sebentar lagi akan lahir. Aku ingin ia lahir dengan tenang."
Babel menyeka bibirnya seraya menunduk. Kontras sekali kegelisahan yang terpatri di wajah elf kulit hitam itu. Kakinya bahkan tak bisa berhenti mengetuk lantai.
"Kita tunggu sebentar lagi," saran Murray.
"Tidak!" Babel menceletuk. "Kita pergi sekarang."
Murray sontak berang. Ia merangkam kerah baju Babel dan menyudutkannya ke dinding. Sorot mata elf rambut gondrong itu getir menusuk.
"Apa maumu?!" protes Babel. "Aku ini Wakil Kapten. Tugasku mengambil keputusan terbaik. Keputusan untuk mencegah hal yang menimpa Leah terulang lagi!"
Cengkraman Murray semakin kencang. Ia hanya diam, tetapi uliran urat di pelipisnya menyembul semua. Tanda semacam itu sudah cukup menjelaskan kepada Babel bahwa dirinya dalam bahaya. Peringatan serius.
Namun, Babel tak peduli. Egonya sebagai Wakil Kapten mengalahkan rasa takut pada seorang Murray Bureau yang hampir-hampir saja meledak.
"Memangnya kau bisa apa?" tantang Babel.
Tangan Murray seketika terkepal. Otot lengannya tegang, seakan siap membanting Babel dalam sepersekian detik.
Theo dan elf lain cemas. Para undead mulai terlihat dari jendela, dan dua orang di hadapan mereka justru asyik ancam-ancaman.
"Mu-Murray," sebut Theo, terengah-engah. "Ja-jangan. Ja-jangan."
Semula Murray peduli setan dengan lirihan elf gemuk menyedihkan itu. Hanya saja, ucapan Babel tentang Leah sedikit menyentil kesadarannya. Memang benar, bahwa mereka harus bertindak cepat agar rencana ini tidak sia-sia.
Murray melepaskan cengkramannya, sekalian dengan sorot mata tajam dan gemeletuk gigi kesal. Babel mendorong elf itu menjauh, meski keringatnya bercucuran deras sekali.
"Kalian tinggal di sini." Murray menatap Theo, kemudian Babel.
"Aku?" Babel tak terima. "Oh! Jangan bilang kau ingin mengorbankan kami, M."
Murray menarik napas kasar seraya berpaling dari Babel. Sedetik kemudian, tinjunya melayang ke wajah elf cepak itu sampai terkulai di lantai. Babel meringis, kepalanya pening.
"Panggil namaku dengan benar!" Murray menambahi. "Ayo berangkat! Kalian berdua tetap di sini," ujarnya pada Theo.
"Tu-tunggu!" sergah Theo. "Lu-lubang pertama di de-dekat toko roti. Lu-lubang kedua, di tengah pertigaan. Ja-jangan lupa."
Murray mengangguk. "Tentu. Ayo!"
Mereka akhirnya berpisah. Theo tetap tinggal di rumah terbengkalai bersama Babel yang setengah sadar. Di sisi lain, Murray membawa dua elf sisanya untuk menuju lubang selanjutnya di pertigaan Kapten Lepson.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grimbolk Tales
Misteri / ThrillerJudul: Grimbolk Tales Genre: Fantasi, Thriller, Misteri Tag: Zombie, Apocalypse, Aksi, Drama Blurb: Tidak banyak orang yang seberuntung Will. Ia bangun di rumah sahabatnya dengan secangkir pengkhianatan, seporsi luka di punggung, dan asupan katastro...