Bab 30 - Konklusi yang Belum Purna

10 3 10
                                    

TENG!

TENG!

TENG!

"Datanglah pada Papa!"

Makhluk-makhluk itu menyelinap di antara temaram senja, menyeret hawa getir yang bahkan sanggup mengikis nyali elf sekaliber Kapten C. Mereka naik melalui pilar-pilar kondominium, saling melengking satu sama lain.

Telinga Kapten C radang. Prasangka buruk berseliweran dalam benaknya. Mungkin ini akan jadi sebuah pengorbanan untuk mimpi idealis yang kerap menghantui hidupnya. Terdengar keren, tetapi juga ironis.

Bagaimana mungkin aku akan menjadi batu pijakan pertama untuk mimpi itu, pikirnya. Mataku harus ada di sana, ia membayangkan, ketika mimpiku itu hidup sebagai sebuah realita.

Jadi, demi tetap bernapas sampai mimpinya terwujud, Kapten C musti menguatkan hati. Satu elf melawan tujuh monster buas, terkesan cukup imbang. Meski satu elf itu mungkin menang dengan kulit tercabik.

Begitu seekor monster sampai di pagar pembatas, pedang Kapten C langsung berayun, memancung lehernya sampai putus. Monster itu seketika jatuh, menimpa beberapa kawannya yang merayapi pilar.

Monster lain datang tiba-tiba, berusaha menerkam Kapten C, hingga ia harus melesakkan ujung pedangnya ke dahi sang monster. Pedang itu pun ikut gugur ke bawah. Kini hanya tersisa palu pemukul lonceng.

"Kemari!" Elf pirang itu memancing para monster masuk ke ruang perjamuan.

Tanpa pikir panjang, Kapten C memukul salah satu tiang penyangga ruangan dengan palunya. Para monster berjejalan di pintu, kemudian langsung mengejarnya beramai-ramai.

Meja-meja makan malam tersepai tak tentu arah. Piring-piring bagaikan genangan es di atap rumah, jatuh dan pecah berantakan. Hanya obor-obor sayu yang menjadi saksi bagaimana sang Kapten berkeliling ruangan sempit itu bersama lima ekor makhluk pelahap elf.

Setiap tiang yang dilewatinya, palu Kapten C selalu berayun. Jelas sekali ia berniat mengubur monster-monster itu di bawah reruntuhan ... sekalian dengan dirinya juga.

Hal-hal aneh berlompatan di ingatan Kapten C. Ia sendiri juga tidak tahu memori siapa yang mencemari kepalanya. Semuanya berkelebat amat cepat, sampai-sampai elf itu terpelanting karena tersandung patahan meja.

Para monster meraung. Salah satunya nyaris saja mengangkangi Kapten C, andai elf itu tidak segera menghantam wajah sang monster dengan palu. Ia kembali berdiri, lari lagi.

Hujan debu di langit-langit mulai turun. Ruang perjamuan bergetar, mau runtuh. Hanya tersisa lima tiang yang kelihatannya sudah jengah menjunjung tempat itu.

Kapten C memukul satu tiang lagi, dan sebagian rangka atas ambruk menimpa seekor monster. Kawanannya semakin ganas. Mereka mengulurkan tangan-tangan panjang demi menjangkau tikus yang gesit itu.

BRUAK!

Satu tiang lagi.

"Bersyukurlah!" ujar Kapten C ketiba tiba di tiang berikutnya. "Karena kalian akan terkubur di tempat peradaban baru tumbuh."

BRUAK!

Tinggal tiga tiang, dan ketiganya berderak nyaring. Waktu sudah habis. Kapten C tahu tiada jaminan siapa saja yang akan hidup setelah ini. Mungkin sang elf yang sendirian itu akan selamat. Atau justru, para monster akan tertawa di atas jenazahnya yang remuk.

"Matilah bersamaku!"

Pukulan terakhir. Ruang perjamuan longsor seribut-ributnya. Rangka atap, genteng, dinding, lilin gantung, semuanya tabrak-menabrak. Kepulan debu meluncur ke angkasa, tepat di bawah senja yang habis dilumat malam.

Grimbolk Tales Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang