Uap panas menderu berulang kali dari lubang hidung Will. Salju memang belum turun, tetapi suhu di sekitar mereka benar-benar dingin.
Selagi menempuh jalan kota yang mulai digerayangi lumut, mata kurcaci itu hilir-mudik memandangi keadaan di sekelilingnya. Rumah-rumah yang terbengkalai semakin lapuk dan sebagiannya roboh. Sangat sulit menemukan material yang cukup layak untuk diolah ulang.
Derit gerobak tua yang ditarik para kuda mengisi kesunyian di antara kelompok ekspedisi yang berangkat pagi ini. Ruben, seorang elf kurus bermata galak, tampak mengawasi Will dari belakang. Sesekali, lirikannya bertukar dengan empat elf yang juga berkuda di belakang.
Tidak lama kemudian, suara geraman terdengar dari balik hutan. Seekor undead menerobos pepohonan lebat dan bergerak menuju kelompok itu. Rahang bawahnya sudah copot.
"Biar aku saja," ujar Ruben, mendahului Will yang hendak turun dari kuda.
Elf berambut hitam itu menarik golok dari punggungnya, berjalan pelan mendekati sang undead. Sekali sabet, kepala undead itu bocor dan berdebuk ke tanah. Ruben tersenyum menang.
"Itu undead pertamaku," katanya menatap Will dan yang lain. "Hebat, 'kan?"
Selagi elf itu tertawa sombong, belukar di hutan kembali berdesis. Bukan cuma satu undead, melainkan lima sekaligus yang keluar dari sana. Will sontak berteriak memperingati Ruben.
"Oh, sial!" Ruben kelabakan. Tangannya gemetar.
"Mundur!" seru Will.
Hampir saja Ruben menuruti perintah kurcaci itu. Namun, arogansinya merasuki. Ia justru maju dan melawan para undead sendirian.
"Rasakan ini, Bangsat!" umpatnya seraya mengayunkan golok.
Serangan itu tepat menghujam kepala sang undead, hingga pekiknya pecah, ambruk seketika. Sayangnya, golok Ruben menancap terlalu dalam. Ia sampai kerepotan mencabutnya.
Undead lain beringsut mendekatinya. Ruben masih sibuk memutar-mutar golok yang amblas ke dalam tengkorak mayat hidup. Ketika kepalanya menengok, salah satu undead sudah mencengkram bajunya.
"TOLONG!!!" jerit elf itu, histeris.
Ruben terjatuh, dan undead itu terbawa sampai menindih badannya. Makin nyaringlah lolongan Ruben, sebab tepat di depan matanya terpampang deret geligi yang mengatup-ngatup buas.
BRUK!
Kapak Will berayun membelah kepala sang undead, yang darahnya tumpah ke wajah dan mulut Ruben. Elf itu lantas terbatuk-batuk panik.
Will membantai empat undead sisanya. Begitu mudah, kapak bersisi dua itu meremukkan tengkorak-tengkorak selunak bubur. Jelas, karena Will sudah pernah menghadapi yang jauh lebih buruk.
Ruben tersungkur gemetaran. Matanya terbelalak menyaksikan betapa cepatnya Will membereskan masalah. Sekarang, kurcaci itu justru balas membelalak padanya.
"Itu mungkin undead-ku yang kesembilan puluh sembilan. Dan aku tidak merasa hebat sedikit pun," satirnya. "Cepat bangun, Amatir!"
Ruben mengangguk, lekas-lekas menarik goloknya dan kembali menunggang kuda. Will juga memelototi empat elf lain yang hanya menunduk ketakutan. Mereka bahkan hendak kabur barusan.
"Apa-apaan ini? Kalian lebih suka menonton teman kalian mati, hah?" omelnya.
"Kami bukan petarung!" sahut seorang elf tak setuju. "Tugas kami hanya membangun kandang."
Will menggeleng kecewa. "Kau pikir yang kau bangun itu kandang ayam? Akan ada puluhan undead di dalam situ. Dan kalian bahkan tak sanggup menatap undead. Ironis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grimbolk Tales
Mistério / SuspenseJudul: Grimbolk Tales Genre: Fantasi, Thriller, Misteri Tag: Zombie, Apocalypse, Aksi, Drama Blurb: Tidak banyak orang yang seberuntung Will. Ia bangun di rumah sahabatnya dengan secangkir pengkhianatan, seporsi luka di punggung, dan asupan katastro...