Bab 38 - Pilihan Untuk Dia yang Benci Memilih

4 3 6
                                    

BRUKK!

Seorang elf tumbang. Kapak di tangan Ruben telah membuntungi kepala rekannya sendiri. Elf yang lain terkesiap, kaget bukan main.

"Menjauh dari Kaptenku!"

Will terduduk ke tanah. Hidung dan bibirnya berdarah.

"Bangsat! Apa yang kau lakukan?" protes salah satu elf.

"Aku berubah pikiran. Kapten Will tidak boleh mati," bantah Ruben.

"Kapten matamu! Dia kurcaci. Musuh kita! Kau ini kena sihir apa, hah?!"

"Ah!" Ruben menodongkan kapaknya. "Pokoknya jangan dekati Kaptenku!"

Lawan bicaranya yang emosi tiba-tiba melempar golok ke arah Ruben. Elf itu refleks berkelit. Napasnya tertahan sesaat menyadari kalau golok yang jatuh ke bawah bukit itu bisa saja membunuhnya jika lamban sepersekian detik.

Kemudian, ia justru tertawa. Merasa bangga. Hingga akhirnya lupa, kalau di belakangnya seseorang sudah siap dengan tendangan kuat.

Ruben berbalik, disambut tendangan di perut. Kapaknya jatuh, bersama dirinya, dan elf yang menendangnya karena ia sempat mencengkram baju elf itu.

Mereka terguling di lereng bukit, menuju hutan yang tapal batasnya telah dipenuhi undead-undead lapar. Dua elf yang masih di atas hanya bisa garuk kepala menyaksikan rekan mereka longsor ke bawah.

Satu hal yang tidak disadari. Kesalahan terbesar dari gerombolan elf itu, mereka tidak mengeroyok kurcaci sampai tuntas. Sebab, Will masih sanggup menjangkau belati dari jaket beruangnya yang tergeletak di tanah.

Tertatih-tatih kurcaci itu berdiri. Wajahnya merah padam. Pupilnya bergetar murka. Belati yang kini berselimut dalam genggamannya dibawa mendekati sang target.

Saking bodohnya, dua elf itu masih belum sadar kalau nyawa mereka terancam. Malaikat maut sudah begitu dekat. Will hanya berjarak kurang dari satu kaki, tepat di belakang seorang elf. Punggungnya seolah menggoda ingin dihunjam.

Namun, si kurcaci justru termenung. Sorot matanya kembali kosong, seiring datangnya pertengkaran dilematis. Bunuh. Tidak. Bunuh. Tidak. Bunuh. Tidak.

Bunuh, jika ingin terus hidup. Tidak, jika ingin hidup tanpa perasaan bersalah (atau mati tanpa penyesalan). Will tercenung beberapa saat. Genggamannya melonggar. Belatinya jatuh.

Para elf terlonjak. Mereka kaget mendapati Will sudah berdiri begitu dekat.

"Sialan!" Seorang elf mengayunkan goloknya.

Will spontan menghindar dan menabraknya hingga terseret jauh. Kurcaci itu berteriak. Sekencang-kencangnya. Ia membawa elf-elf itu dengan kedua tangannya menuju tebing.

"Maafkan aku!" ucap Will sebelum mendorong mereka jatuh.

"Jangan harap!" Seorang elf berhasil menyeretnya ikut terguling ke lereng bukit. Mereka bertiga jatuh.

Para undead meraung ganas. Satu per satu mayat hidup keluar dari kegelapan hutan. Ruben terkulai lemas sesaat menabrak pohon. Elf yang dibawanya juga sama, meski sedikit kurang beruntung. Kakinya terkilir.

Beberapa undead mendatangi mereka. Ruben bergegas kabur sambil menyeret kapak Will. Ia melihat elf di dekatnya, yang melengking minta ditolong, tetapi yang menjawabnya hanyalah taring dan gigitan beringas.

Napas Ruben menderu. Suhu dingin membuat segalanya tampak kelabu. Elf itu beringsut menaiki bukit. Jantungnya jumpalitan. Sebab, kawanan undead belum sudi melepaskannya.

Lain lagi dengan Will. Ia berserta dua elf meluncur bebas ke dalam hutan. Tiada pohon yang menahan mereka. Bahkan, ketiganya berguling melewati kawanan undead.

Grimbolk Tales Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang