"Bulroy, apa keputusanmu sudah bulat?" Ramon Higgins menanyai elf yang jadi pacar cucunya.
Bulroy mengangguk. Sekarang mereka berada di antara kerumunan penghuni kondominium. Semuanya berkumpul di lapangan, sementara panggung besar di depan mereka diisi oleh Komite Enam (yang sekarang hanya tersisa lima).
Emily (sang pacar) sama sekali tidak mencampuri obrolan tersebut. Ia begitu hening, terkesan merenung, seolah ada hal lain yang bergelayut di dalam benaknya.
Memang, gadis itu telah mengalami banyak kehilangan. Semua adiknya tewas di komunitas ini. Levia dan saudari kembarnya, Theressa, sekalian dengan anak angkat di keluarga mereka, Benjamin.
Sang nenek, Spark Higgins, sebenarnya telah membaca gelagat itu sejak beberapa hari belakangan. Raut wajah frustrasi. Ia tahu bahwa Emily menyalahkan dirinya sendiri atas nasib adik-adiknya.
"Apa yang berlalu, biarlah berlalu," bisiknya sembari mengelus pundak cucunya.
Emily terkesiap. Isi kepalanya kembali fokus mendengarkan Kapten C yang berpidato di atas mimbar.
"Aku tidak punya banyak hal untuk ditawarkan. Hartaku hanyalah impian besar dan komunitas ini. Kita masih belum bergerak, bahkan satu jengkal pun, dan para pengkhianat terus-menerus pergi meninggalkan kita. R, MG, KAPTEN WILL! Kepada siapa lagi aku harus percaya?"
Selentingan Kapten C sukses menuai riuh dari para hadirin. Emosi mereka terbakar, terutama setelah nama-nama pengkhianat disenandungkan. Persis seperti sekumpulan lebah yang ingin meradang.
"Aku tahu. Aku tahu! Kalianlah yang seharusnya kupercaya. Tapi sungguh, seandainya Kapten kita masih sudi bersabar, aku benar-benar ingin tahu alasannya kabur dari komunitas ini. Setelah semua yang ia lakukan, ide-ide cemerlangnya, kepeduliannya yang pernah ada." Kapten C melirik Percy yang tertunduk cemas.
Elf jangkung itu bergeser selangkah dari mimbar. Matanya menatap lurus ke arah Percy di belakangnya.
"Kau orang terakhir yang bicara dengannya. Berikan kami sedikit kisah, P."
Percy sontak tercekat. Jelas ia tak menyangka akan disuruh berbicara di depan massa selayaknya Kapten sungguhan. Selain itu, cara Kapten C ini terkesan seperti interogasi baginya. Rasa gugup Percy akan membuatnya kesulitan menutup-nutupi rahasia.
"A-aku ... a-aku...." Semua orang senyap, membiarkannya berduaan dengan keringat dingin. "A-aku turut berduka cita ... atas kepergian Kapten Will."
"Kau sudah mengatakan itu. Berulang kali," celetuk Kapten C. "Ayolah, P. Bisakah kami mendapat lebih dari sekadar ungkapan duka cita?"
"A-aku tidak tahu harus bilang apa. Sebelum siapa pun di antara kalian, akulah yang pertama kali bertemu dengannya. Kami bersama sejak awal. Mungkin banyak orang di luar sana yang mengenalnya lebih daripada aku. Tetapi, sejauh yang kutahu, Tuan Will selalu punya alasan kuat atas setiap tindakannya. Ia bukan pengkhianat."
Sorak protesan seketika meledak. Sedikit sekali "anggukan setuju" yang didapat pernyataan Percy barusan. Kerumunan massa sudah telanjur diaduk-aduk murka dan benci, ditambah lagi pengaruh Kapten C yang kian mendiskriminasi citra Will.
Tatapan-tatapan marah itu seolah berkata: "Kau memihak Will, artinya kau juga memihak pengkhianat. Dan pengkhianat tak pantas berdiri di atas kami."
Percy paham maksudnya. Untuk itulah ia tak berniat bicara sejak awal. Namun, Kapten C sedang memainkan kartu untuk mendapatkan keinginannya. Kartu tersial ada di tangan Percy sekarang.
"Alasan kuat? Apa yang membuatmu yakin alasan Tuan Will-mu itu benar-benar kuat, P?" Sang Kapten bermata satu memancing-mancingnya.
Percy menggeleng cepat. Jantungnya berdegup kencang, takut jika perbincangannya dengan Will terbongkar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grimbolk Tales
Misterio / SuspensoJudul: Grimbolk Tales Genre: Fantasi, Thriller, Misteri Tag: Zombie, Apocalypse, Aksi, Drama Blurb: Tidak banyak orang yang seberuntung Will. Ia bangun di rumah sahabatnya dengan secangkir pengkhianatan, seporsi luka di punggung, dan asupan katastro...