Bab 32 - Murray Bureau

10 3 10
                                    

Rintihan sendu bergema di kepala Murray. Tidak sehisteris teriakan rekan-rekannya ketika digerogoti undead, tidak pula separau jerit Loner ketika rahangnya dihujam belati.

Namun, yang satu ini benar-benar mengiris hatinya. Murray enggan membuka mata. Telinganya berdenging, berusaha mengabaikan rintihan tersebut, walau mustahil. Itulah rintihan istrinya.

Naita tersungkur lemas di hadapan suaminya yang dirantai. Entah sudah berapa lama suster itu menangis, yang jelas air matanya telah membentuk pulau-pulau kecil di lantai.

Bagi Naita, kondisi sang suami memang pantas ditangisi. Kulit kepala Murray tampak mengintip di balik rambut tipisnya yang beberapa jam lalu masih gondrong. Gigi-gigi gerahamnya juga copot. Dan, ia sudah kewalahan mengendalikan mata kirinya yang kuning bernanah. Pupil mata itu menyorot ke sana-kemari, persis tatapan monster kelaparan.

Mereka terjerat dalam sunyi, di dalam bilik sempit laboratorium Profesor Erbor, sementara undead-undead di kandang sebelah sibuk menggeram (seakan memberitahu bahwa merekalah masa depan Murray).

Cukup ajaib mendapati dirinya masih belum menjadi undead, kendati sekian jam telah berlalu. Murray meyakini ketangguhan tersebut berasal dari tekadnya untuk menyampaikan sesuatu kepada Naita. Sesuatu yang dibendungnya sedari tadi. Sekarang, setelah melihat reaksi sang istri, ia justru ragu untuk menyampaikan apa pun.

"Ma-maaf—"

"Takkan pernah kumaafkan," lirih Naita seraya mengenggam tangan suaminya itu. "Tolong jangan mati."

Dengus frustrasi meledak dari hidung Murray. Darahnya berdesir. Sentuhan hangan Naita mengingatkannya tentang sensasi menjadi makhluk hidup.

Dengan tubuh sepucat dan sedingin itu, setengah nyawa Murray mungkin sudah tiada. Lantas, bagaimana bisa ia berjanji takkan mati pada sang istri?

"Kau tahu persis bagaimana kondisiku, Naita," ujarnya pasrah. "Setidaknya ... biarkan aku ... mengatakan sesuatu ... untukmu."

Naita tidak menggubris. Sikap semacam itu sudah cukup bagi Murray untuk meneruskan kalimatnya.

"Aku mencintaimu. Aku mencintai calon bayi kita. Andai punya pilihan ... akan kujual jiwaku pada iblis ... demi bisa hidup sampai bayiku lahir. Tapi ... iblis pun takkan sudi menolong kita, Naita. Kota ini ... terkutuk."

Air liur Murray merembes dari bibir gemetarnya. Pria itu sedang berkelahi di dalam batin. Ia tak pernah menyangka bahwa mempertahankan kesadaran akan sesulit ini.

Di sisi lain, Naita sama sekali tak sudi memandangnya. Murray terpaksa menyerah. Lagi pula, segala kalimat yang ia pendam sejak awal telah ditumpahkan semuanya. Tiada lagi penyesalan.

"Aku akan mati," katanya.

Tangis Naita semakin menjadi-jadi. Cengkramannya pada Murray tak mengendur sedikit pun.

"Dan aku akan berubah ... menjadi sesuatu yang bukan aku."

"Tolong," rintih Naita. "Tolong jangan."

"Mana sanggup aku membohongimu. Inilah takdirku. Suka, tidak suka. Jaga bayi kita ... untukku. Jaga dirimu ... untukku. Bisa, 'kan, Naita?"

Naita menggeleng.

"DASAR BRENGSEK!" raung Murray, membuat istrinya menengok kaget.

Naita akhirnya mampu memandang Murray. Matanya menangkap jelas seberapa parahnya keadaan sang suami. Dan bentakkan Murray barusan, ia sedang memaki sesuatu yang berusaha mengambil alih pikirannya.

"Lakukanlah, Naita, demi apa pun. Teruslah hidup. Temukan masa depan untuk bayi kita. Berjanjilah padaku!"

Naita mengangguk setengah hati. Wajahnya merah tak karuan, basah dan pucat. Inilah situasi terpelik baginya. Namun, ia juga sadar bahwa bukan Murray yang menginginkan ini. Perpisahan pada akhirnya akan tetap datang.

Grimbolk Tales Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang