Bab 21 - Sepasang Sayap Berlainan Warna

20 4 23
                                    

"Oh Ifhilim yang penuh kasih, selamatkanlah aku dari kehendak buruk Nirhilim. Oh Nirhilim yang kuasa, tundalah kehendak buruk-Mu atas diriku. Amin." Morbit mengecup liontin sayap merpatinya selesai berdoa.

Sayap merpati merupakan simbol agama Eifreim. Sayap sebelah kanan berwarna putih melambangkan kesucian Ifhilim. Sedangkan sayap kirinya berwarna hitam, mewakili kuasa Nirhilim.

Mayoritas elf menjadikan simbol tersebut sebagai jimat pelindung. Mereka membuat liontin, cincin, patung dan sebagainya, kemudian memohon perlindungan.

Morbit sendiri sangat mencintai liontin sayap merpatinya. Ia selalu memakainya ke mana-mana. Saat mengayun pedang sebagai instruktur bela diri, atau saat berbicara di mimbar sebagai pengkhutbah. Liontin itu telah menjadi bagian dari dirinya.

Selagi menunggu isyarat dari kelompok Murray, hatinya waswas. Debar jantung menjejali telinganya. Tangannya tak henti gemetar.

Bagian terburuk dari membuat rencana adalah tiada yang tahu persis apa yang akan terjadi di ujung rencana tersebut. Mereka hanya bisa memperkirakan, sementara banyak faktor lain yang tak sabar ingin mengacaukan perkiraan mereka.

Satu-satunya jalan, bagi Morbit, adalah menyerahkan segalanya kepada tuhan. Berpasrah diri. Meyakini bahwa segala kerumitan jalan keluar yang mereka tempuh akan menjadi seuntai simpul sederhana atas izin tuhan.

Meski demikian, sudah menjadi kodrat seorang makhluk untuk takut. Kumis tebal nan lentiknya terus-terusan bergetar. Ia tak sanggup menutupi kerapuhan dirinya.

Mendapati sang rekan dilanda kecemasan, Tyron Hunk (si penjaga gerbang komunitas) menghampiri Morbit. Ia meremas pundak elf berbadan kekar itu agar berhenti gemetar.

"Kita akan baik-baik saja," ujarnya, sekadar menyemangati.

"Aku tahu." Morbit memicingkan mata. Jantungnya belum tenang. "Aku hanya takut."

"Kenapa? Bukankah imanmu lebih kuat dariku, Begawan?"

Morbit menggeleng cepat. "Siapa kita yang seenaknya menilai iman orang lain? Iman seekor kelinci mungkin lebih besar dari macan yang hendak menerkamnya. Tiada yang tahu."

Tyron mengerti maksud kalimat itu. Sama seperti kematian, iman seseorang tidak bisa dihakimi dari apa yang dilihat mata. Orang yang paling ramah senyumnya bisa jadi menyimpan niat buruk. Suara tawa yang paling jahat bisa jadi menghibur seseorang.

Morbit seringkali menyeret topik keimanan dalam ceramahnya. Tyron bukan tipe elf yang senang mendengarkan hal tersebut. Bahkan terkadang ia meragukan tuhan-tuhannya.

Namun, ada masanya di mana Tyron merasa kaki dan tangannya dibimbing oleh tuhan. Menuju sesuatu yang ia tak pernah tahu apa.

"Kau selalu membawanya," kata Tyron, melirik liontin sayap merpati di leher Morbit. "Sepertinya cintamu pada tuhan sangat besar."

"Ini peninggalan putriku." Morbit menyahut. "Dulu aku seorang pemabuk. Tuhan bukan hal yang nyaman di telingaku. Tapi putriku tak pernah menyerah. Ia rela tangannya terkena pecahan botol bir demi bisa menceramahiku."

"Dan putrimu kelihatannya berhasil. Kau berubah, 'kan?" terka Tyron.

Morbit tersenyum getir. "Tidak. Aku masih pemabuk yang sama. Di malam wabah ini menyebar, aku tergeletak di lantai, memeluk sebotol bir. Putriku berusaha mengamankan rumah. Menutup setiap jendela, mengunci setiap pintu. Tapi ia tergigit ketika berusaha menolong seseorang di luar sana."

Mata Morbit merah berkaca-kaca. Tangan gemetarnya semakin erat mengenggam mata liontin milik sang putri.

"Aku bangun saat dirinya sudah menjadi undead. Aku tidak lagi mengenalinya. Satu-satunya hal yang kukenal hanyalah liontin ini. Masih terkalung di lehernya," sambung Morbit. "Lalu aku terlunta-lunta di jalanan. Berharap mati, tapi terlalu malu menemui tuhan-tuhanku. Hampir. Hampir saja aku menyerah. Lalu Miriam, putriku, datang dalam keputusasaanku, membimbingku menuju jalan yang benar. Jalan yang dicintai Ifhilim, direstui Nirhilim."

Grimbolk Tales Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang