Bab 23 - Tangisan di Antara Riak Hujan

15 4 23
                                    

"Jadi ... bagaimana, Will? Kau belum mengatakan apa pun dari tadi."

"Entahlah, Nat. A-aku ... ya, menurutku idemu bagus. Pagelaran busana, 'kan?"

"Tepat sekali! Aku sudah merancang banyak baju, untuk elf dan kurcaci. Suatu saat baju-baju itu akan dijahit. Lalu aku akan melihat orang-orang mengenakannya."

"Mimpimu mulia sekali, Kawanku. Menyatukan elf dan kurcaci dalam sebuah pertunjukkan megah. Grimbolk pasti bersyukur pernah memilikimu, Nat. Tapi, bagaimana caramu mewujudkannya?"

"Gampang. Sangat gampang. Aku akan menyewa paviliun di Herragia. Membayar beberapa model. Menyebar undangan. Dan viola! Pagelaran busana Nathan Southbell siap dilaksanakan."

"Uangnya? Mimpi sebesar itu perlu biaya yang tidak sedikit. Tapi jangan salah! Aku mendukungmu. Selalu begitu."

"Ah, tenang saja. Aku akan meminjam dari bank. Kau pasti tahu, Will, bagaimana aku sangat menginginkan ini. Aku ditakdirkan untuk menjadi penjahit terkenal. Akan kugadaikan rumahku, martabatku, segalanya ... demi bisa melihat mahakaryaku dipamerkan."

Will masih bertanya-tanya sampai sekarang. Apakah "segalanya" yang diucapkan Nat kala itu juga termasuk persahabatan mereka? Atau, lebih spesifik, nyawa Will sendiri yang telah digadaikan demi memuaskan ambisi Nat.

Setiap kali memancung kepala undead, sosok Nathan Southbell berkelebat di depan Will. Percakapan mereka—secara acak—berputar dalam benaknya. Suara Nat yang lembut dan polos itu membakar emosi Will lebih cepat dari pemantik mana pun.

Sedikit demi sedikit, kebencian Will pada satu elf berimbas kepada satu ras. Ia benci elf, siapa pun. Baginya mereka semua penipu licik. Hanya seekor iblis lemah yang pintar bersandiwara.

Berapa harga nyawa elf di matanya?

Nol.

Will telah melihat kerusakan yang dibawa tangan-tangan makhluk bertelinga lancip itu. Nyawanya terus-terusan dipermainkan. Kesabarannya ditarik dan dipotong sesuka hati. Sampai pada suatu titik. Titik jenuh.

"Warren. Warren!" Sid terperanjat.

"Apa lagi, Bodoh?! Biarkan aku menginjak lehernya dengan tenang!"

"I-itu! Itu! D-dia! Dia!" Kedua telunjuk Sid menunjuk-nunjuk arah seberang sungai. "Dia datang! Kurcacinya!"

Warren sontak menoleh dan mendapati Will hampir mencapai ujung jembatan. Elf perokok itu terbeliak. Matanya tertuju pada kepala undead yang ditenteng oleh Will.

"Apa-apaan itu!? Sid, potong talinya jembatannya. Jangan biarkan dia lewat!" suruh Warren panik.

Sid segera mendekati jembatan. Ia menjumput pisau dari saku, lekas-lekas menggeret tali yang menghubungkan jembatan.

Will tidak terburu-buru menginjak papan jembatan, meski dirinya mungkin tidak bisa pergi ke seberang sungai sebentar lagi. Tangan Sid begitu cepat menyayat tali. Belum cukup kuat untuk memotongnya, tetapi takkan lama.

Setiap kali pisaunya merobek satu serat tali, mata Sid menengok ke arah Will. Ia ingin memastikan kurcaci itu masih terlalu jauh untuk menyeberang. Sekarang talinya hampir putus, dan Will baru sampai di depan jembatan. Sid tersenyum menang.

"Selamat tinggal, Kurcaci bodoh. Bersyukurlah kami tidak memakanmu," katanya, lalu kembali menatap Will.

Mata Sid membeku tatkala sebilah kapak melayang ke arahnya. Elf itu bahkan tidak sadar ke mana kapak itu pergi. Tiba-tiba menghilang. Begitu cepat.

Warren mengumpat nyaring sekali. Sid bingung mengapa semua mata tertuju padanya. Seharusnya mereka lebih tertarik menatap kapak yang bisa lenyap secepat kilat itu.

Grimbolk Tales Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang