Gagak-gagak berkoak di bawah lembayung senja langit Grimbolk. Suhu dingin melilit bagaikan ular, membuat para penghuni kondominium enggan berlama-lama di luar.
Salah satu penghuni yang cepat-cepat melangkah ke kediamannya adalah Morbit. Begawan itu menyalakan obor dan mendatangi sebuah ruangan di kantornya. Banyak peti-peti terkunci di sana, berbagai ukuran.
Morbit mengambil sebuah peti berukuran sedang. Ketika tutupnya dibuka, tampaklah botol bir yang sisa setengah. Begawan itu memungutnya, kemudian duduk di kursi sembari memandangi isi botol tersebut.
Tantangan terbesar menjadi orang suci adalah melupakan dosa-dosa yang pernah dilakukan. Termasuk dosa kemarin, satu jam lalu, atau sedetik belakangan.
Begawan memang jabatan suci, tetapi pengembannya sama sekali bukan. Morbit menjadi bukti bahwa kebiasaan masa lalu terkadang kelewat sulit dilepaskan, bahkan ketika Tuhan telah merengkuhnya.
Pria itu membuka botol birnya. Ia sempat ragu, terutama selepas mengenggam liontin sayap dua warna milik sang putri. Janji demi janji dibuatnya demi memaafkan diri sendiri.
Namun tetap saja, di balik sosok Begawan suci penuh wibawa, terdapat figur seorang ayah yang lebih nafsu menenggak bir ketimbang menyanyikan pujian untuk Tuhan. Morbit sudah putus asa. Hari ini keputusannya telah bulat.
"Maafkan ayahmu, Miriam. A-aku ... aku sudah berusaha. Sungguh," gumamnya.
Berbekal tarikan napas panjang, Morbit meneguk habis isi botol di dalam genggamannya. Beberapa saat kemudian, kesadaran Begawan itu mulai oleng. Ia tertawa putus asa.
"Oh, Ifhilim. Beginikah cara-Mu mencintai kami? Dengan membiarkan kami sengsara bersama mayat-mayat dari neraka? Tolong sebut aku bodoh, tolol, brengsek, apalah namanya! Tapi menurutku, Wahai Ifhilim yang kucintai, kasih sayangmu itu palsu. Sepalsu sosokmu di antara banyak kisah palsu."
Morbit hendak meletakkan botolnya di meja, tetapi pria itu lebih dulu ambruk ke lantai. Sekali lagi, ia tertawa putus asa.
"Siapa aku ini sebenarnya? Elf yang selamat, atau elf yang tersiksa? Mengapa Engkau hanya diam, Wahai Tuhanku? Di mana suara-Mu? Setiap kali aku berdoa, yang kudengar hanyalah suaraku."
Morbit mengelap ingusnya yang berceceran. Ia berusaha bangun, tetapi pandangannya berkunang-kunang. Ruangan di sekitarnya tampak lesap tersedot hitam.
"Dan aku, Wahai Tuhanku, telah membuat banyak keputusan bodoh atas nama-Mu. Aku membiarkan seorang wanita pembunuh punya kesempatan membunuh untuk kedua kalinya. Kasih sayang-Mu, Wahai Tuhanku, terlalu naif buatku. Aku ... a-aku ... aku tidak mampu mengikuti cara berpikir-Mu."
Morbit akhirnya berbaring di lantai. Matanya merah berair, entah menahan tangis, atau menahan mabuk. Yang jelas, pikirannya sempat waras selama sepersekian detik, ketika menyatakan keputusannya.
"Pendosa sepertiku tidak pantas memakai nama-Mu untuk berfatwa. Itulah sebabnya, Wahai Ifhilim, aku memutuskan berhenti menjadi pelayan sucimu. Biarkan akhir yang akan menentukan nasibku."
Tepat setelah kesaksian itu, suara ketukan terdengar dari luar. Morbit bergidik berulang kali demi mengumpulkan kesadaran. Lambat laun, seruan Zoe sampai ke telinganya.
Anak itu bertamu ke kantor. Morbit memeriksa liontinnya, masih terkalung di leher. Ia kemudian menyembunyikan botol bir yang tergeletak di lantai.
"Tu-tunggu sebentar, Nak Zoe!" balasnya.
Tergopoh-gopoh, Morbit berjalan menuju pintu. Ia menyambut Zoe dengan senyum, meski penampilannya kacau.
"Aku datang sesuai permintaanmu, Begawan Morbit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Grimbolk Tales
Mistério / SuspenseJudul: Grimbolk Tales Genre: Fantasi, Thriller, Misteri Tag: Zombie, Apocalypse, Aksi, Drama Blurb: Tidak banyak orang yang seberuntung Will. Ia bangun di rumah sahabatnya dengan secangkir pengkhianatan, seporsi luka di punggung, dan asupan katastro...