•✿ Part 41 ✿•

49 4 2
                                    

•───────•°•✿❀✿•°•───────•

"Kalau dipikir-pikir, kau yang lebih dulu pensiun di antara kami semua. Kau pasti memiliki cerita yang lebih menarik dari kami, kan?" Cody menimbrung.

"Memangnya kenapa kalau aku keluar duluan dari kemiliteran? Kalian ada masalah dengan itu?!" tanya Sam yang emosi. Tampaknya ia tersinggung dengan pertanyaan dari teman-temannya.

"Kalau kau tidak ingin bercerita, ya sudah. Maaf membuatmu tersinggung," ucap Cody.

"Kalian ingin tahu yang sebenarnya? Baik, aku akan menceritakannya." Sam menginjak gas. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membuat teman-temannya agak khawatir.

"Tidakkah menurutmu kita terlalu cepat?" ucap Mike.

Sam tidak mendengarkan. Ia malah menambah laju mobilnya.

"Sam, bisakah kau mengurangi kecepatan mobil kita?" bujuk Ivan.

"Aku bukan pensiun duluan, tapi aku dikeluarkan dari kemiliteran, karena aku melanggar peraturan," Sam mulai bercerita dengan emosi yang meluap-luap.

Sam melanjutkan, "Aku menikah dan memiliki anak. Aku tidak punya pekerjaan, jadi aku tidak punya uang. Aku berjudi lalu mendapatkan uang. Aku tidak peduli meski istriku marah-marah, meski anakku sakit. Aku terus berjudi.

Suatu hari, istriku sudah muak denganku. Dia membawa anak kami pulang ke kampung halamannya, ke rumah orang tuanya. Namun, dalam perjalanan, mereka mengalami kecelakaan dan mereka tewas seketika."

Teman-teman Sam tidak tahu tentang pemecatan itu. Mereka mengira jika Sam pensiun. Mereka juga tidak tahu tentang keluarga kecil Sam, karena Sam memang tidak pernah bercerita. Ia adalah pria yang tertutup.

"Aku tidak punya keluarga yang bahagia seperti kalian. Aku iri pada kalian. Aku benci hidupku!"

"Sam!"

Mobil yang mereka tumpangi menabrak pohon lalu jatuh ke jurang.

🌴 Flashback Off 🌴

"Jack tidak tega menceritakan kebenaran ini padamu, Vienna. Jadi, dia hanya jujur padaku. Aku mengatakan ini padamu, karena aku pikir kau sudah cukup dewasa untuk tahu. Kau juga berhak mengetahuinya," Bobby mengakhiri ceritanya.

Vienna hanya diam dan mencerna cerita dari pamannya itu.

"Sam si brengsek itu memang sudah lama ingin bunuh diri, tapi dia tidak ingin mati sendirian. Dia ingin teman-temannya mati bersamanya. Pengecut itu tidak memikirkan keluarga dari teman-temannya yang ditinggalkan," ujar Bobby.

Vienna menganggukkan kepalanya. "Ya, semuanya sudah terjadi. Mau bagaimana lagi. Waktu tidak bisa diputar kembali, tidak ada yang bisa diperbaiki."

Hening.

Tak ada taksi kosong yang lewat satu pun. Beberapa yang lewat adalah taksi yang berisi penumpang.

"Di luar dingin, masuklah ke dalam, Rhea," ucap Kelly.

"Tidak apa-apa, Nek. Aku senang Nenek dan paman datang berkunjung ke mari. Aku akan menemani kalian menunggu taksi kosong lewat," kata Rhea.

"Aku rasa, aku tidak jauh beda dengan Sam," kata Bobby.

Vienna menatap pamannya.

"Aku juga dikeluarkan dari kesatuan kepolisian dengan tidak terhormat, karena telah melanggar peraturan. Bahkan aku bertengkar dengan Kak Ivan karena hal tersebut," ucap Bobby.

Vienna mendengarkan dengan serius.

"Selain bekerja di bengkel, aku juga suka berjudi, main sabung ayam, dan membeli tiket lotre, berharap ada sedikit keberuntungan untuk mendapatkan uang. Tapi, aku tidak pernah berpikir untuk melukai siapa pun apalagi melukai diri sendiri," ucap Bobby.

"Selama ini aku tidak tahu apa yang menyebabkan Paman dan ayah bertengkar sampai-sampai hubungan kalian menjadi renggang," kata Vienna.

Bobby menghela napas berat. "Aku memukul, menyiksa, dan menembak penjahat bajingan sampai mati, dia buronan yang kami (polisi) cari. Itulah sebabnya aku dipecat secara tidak hormat dari kesatuan kepolisian. Sebagai seorang militer yang patuh dan menjunjung tinggi peraturan, Kak Ivan sangat marah dan menyalahkan kecerobohanku yang terlarut dalam emosi pribadi sampai membunuh orang."

Vienna merasa sedih.

"Kau tahu, kenapa aku sampai hati membunuh buronan itu?" Bobby menatap keponakannya dengan serius.

"Kenapa?" Tampaknya Vienna penasaran.

Bobby pun bercerita, "Bedebah itu pembunuh berantai. Dia memperkosa dan membunuh korbannya dengan keji. Hari itu aku dan timku menemukan tempat persembunyiannya. Ada banyak sekali mayat di sana. Rata-rata gadis di bawah umur. Kira-kira 10-13 tahunan.

Saat aku masuk ke salah satu ruangan di tempat itu. Dan aku melihatnya sedang memperkosa seorang gadis di bawah umur sambil kulitnya disayati. Siapa yang tidak akan marah saat melihat itu secara langsung."

Vienna kesal dan sedih mendengar cerita pamannya.

"Aku tidak punya anak perempuan, tapi aku keponakan perempuan. Aku teringat pada kalian. Saat itu aku marah dan langsung memukulinya lalu menembaknya hingga tewas ditempat. Dan aku pun dipecat. Aku juga masuk penjara." Bobby tertawa.

Vienna teringat pada Rhea yang memilih untuk menembak Jason, tanpa mempertimbangkan resiko yang akan ia dapatkan jika menembak polisi itu, ya meski nyatanya Jason adalah oknum. Tetap saja hukum tidak bisa ditebak... eh, ralat... hukum tidak bisa ditawar.

"Awalnya hubungan persaudaraan kami sangat erat, sama seperti kau dan juga Rhea. Tapi, karena kejadian itu, aku menjadi jauh dengan kakakku," kata Bobby.

"Seharusnya Paman mengatakan alasannya pada ayah. Ayah pasti mengerti," gerutu Vienna.

"Aku sudah menjelaskannya, tapi dia bilang, kita tidak boleh melibatkan perasaan pribadi dalam pekerjaan. Karena pada akhirnya, si penjahat akan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku," sahut Bobby.

"Hmm." Vienna tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

Bobby kembali bersuara, "Aku tahu aku salah, karena telah bertindak sendiri. Tapi, disamping resiko yang aku dapatkan, aku tidak menyesal telah membunuh pria itu, karena dia memang pantas mati. Jika dia dihukum oleh negara, hukuman mati yang dia dapatkan tidak sesakit yang aku lakukan padanya. Itu tidak sebanding dengan apa yang telah dia lakukan pada korban-korbannya.

Bahkan ketika dia sekarat, sebelum aku menembaknya, dia mengatakan kalau di kehidupan selanjutnya, dia akan menjadi pembunuh berantai lagi."

Ada taksi kosong yang lewat. Rhea menyetopnya.

"Jagalah hubungan persaudaraan kalian, jangan seperti aku dan ayahmu." Bobby mengusap puncak kepala Vienna.

Vienna mengangguk.

"Kami pergi."

Rhea dan Vienna melambaikan tangannya ketika taksi itu melaju meninggalkan kediaman mereka.

"Aku tidak mengira kau punya nyali memecahkan kaca mobil Paman Bobby," kata Rhea.

Vienna tertawa. "Saat itu aku kesal, karena nenek bilang, paman tidak punya mobil. Selain itu, aku juga mau menyusup masuk ke dalam mobilnya."

"Untuk apa?" tanya Rhea.

Vienna memasang ekspresi berpikir. "Aku hanya ingin terlihat keren seperti di film-film. Lagi pula aku hanya mengikuti naskah cerita."

"Begitu, ya." Rhea berlalu masuk ke dalam rumah.

Vienna menyusulnya lalu bersuara dengan nada manja layaknya seorang adik, "Kakak, main game, yuk!"

"Kenapa kau tiba-tiba mengajakku main game?" tanya Rhea keheranan.

"Hehe."

"Bagaimana hari pertamamu di sekolah tadi?"

"Lumayan menyenangkan."

"Teman-temanmu?"

"Mereka baik, setidaknya sampai sejauh ini."

"Syukurlah, semoga kau nyaman bersekolah di sana."

"Iya, semoga saja."

•───────•°•✿❀✿•°•───────•

09.13 | 14 Februari 2021
By Ucu Irna Marhamah

SISTERHOODTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang